BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aliran Mu’tazilah sebagai salah satu aliran mutakallimin mempunyai
peranan besar dalam sejarah pemikiran Islam. Aliran inilah yang pertama kali
mempersenjatai Islam dengan filsafat dalam usaha mempertahankan Islam dari
serangan-serangan luar. Demikian pula, aliran Mu’tazilah yang meletakkan dasar
bagi lahirnya filsafat Islam dengan tokoh-tokohnya yang datang kemudian
seperti; Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan sebagainya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah lahirnya mu’tazilah
2. Apa
saja ajaran-ajaran mu’tazilah?
3. Bagaimana
janji dan ancaman menurut hukum mu’tazilah?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui sejarah lahirnya aliran mu’tazilah
2. Untuk
mengetahui ajaran-ajaran mu’tazilah
3. Untuk
mengetahui janji dan ancaman menurut hukum mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Awal
Munculnya Golongan Mu’tazilah
Sebenarnya term
Mu’tazilah sudah muncul pada pertengahan abad Hijriah. Istilah ini digunakan
untuk orang-orang (para sahabat) yang memisahkan diri atau bersikap netral
dalam peristiwa-peristiwa politik yang terjadi setelah Usman bin Affan wafat.
Pertama, pertentangan antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair dengan Ali bin Abi
Thalib sehingga meletus perang Jamal. Kedua, perselisihan antara Mu’awiyah dan
Ali bin Abi Thalib sehingga pecah perang Shiffin. Sejumlah sahabat tidak mau
terlibat dalam konflik politik berdarah itu. Mereka menjauhkan diri dari
konflik politik tersebut dan tidak memihak kepada siapa pun. Diantara sahabat
yang bersikap demikian adalah Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar,
Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, Suhaib bin Sinan, dan Zain bin Tsabit.
Karena mereka memisahkan diri dari kelompok-kelompok yang bertikai, mereka
dinamakan Mu’tazilah yang berarti orang yang memisahkan diri.
Al-Naubakti
dalam kitabnya Firaq al-Syiah,
sebagaimana dikutib oleh HAR Gibb dan J.H.Kramers, mengatakan bahwa setelah Ali
bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah, sekelompok umat Islam memisahkan diri
(i’tizal) dari Ali, meskipun
mereka menyetujui pengangkatan tersebut. Mereka ini disebut golongan Mu’tazilah.[4]
Di dalam
beberapa buku yang membicarakan tentang teologi Islam, sering disebut bahwa
Mu’tazilah lahir pada abad kedua Hijriah dengan tokoh utama Washil bin Atha’.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah ada hubungan antara Mu’tazilah pada abad
peratama dengan Mu’tazilah yang muncul di abad kedua ini? Apakah Mu’tazilah
yang dipelopori oleh Washil bin Atha’ merupakan kelanjutan dari Mu’tazilah
Sa’ad bin Abi Waqqash dan sejulah sahabat lainnya? Ataukah kedua Mu’tazilah
tersebut muncul sendiri-sendiri, tanpa ada hubungan dan kaitan, sekalipun
namanya sama?
Kalau
diperhatikan keadaan masyarakat dan situasi politik serta latar belakang
lahirnya kedua Mu’tazilah di atas, nampaknya tidak ada hubungan antara
Mu’tazilah yang muncul di abad pertama Hijriah dengan Mu’tazilah yang
dipelopori oleh Washil bin Atha’. Yang pertama lahir akibat kemelut politik,
sedangkan yang muncul karena didorong oleh persoalan akidah atau keimanan.
Al-Syahrastani
menceritakan bagaimana Mu’tazilah kedua tersebut lahir. Katanya, pada suatu
hari seorang laki-laki datang enemui Hasan al-Bashri (21-110 H/642-728 M) di
majlis pengajiannya di Bashrah, seraya berkata, “Pada zaman sekarang ada
golongan yang mengkafirkan orang-orang yang berbuat dosa besar. Menurut mereka
dosa besar itu merusak ian sehingga membawa kepada kekafiran (yang dimaksud
adalah golongan Khuwarij). Di samping itu, ada pula golongan yang menangguhkan
hukum orang yang berdosa besar. Menurut golongan ini, dosa besar tidak merusak
iman sehingga orang yang berbuat dosa besar itu masih tetap orang mukmin, tidak
kafir (golongan dimaksud adalah murjiah).
Ketika Hasan al
Bashri masih merenung untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya tersebut,
Whasil bin Atha’, salah seorang peserta dalam majlis tersebut, memberikan
jawaban lebih dahulu, “Aku tidak mengatakan orang yang berbuat dosa besar itu
mukmin secara mutlak, dan tidak pula kafir secara mutlak (al-manzilah bain al-manzilatain). Orang
itu tidak mukmin, tidak pula kafir. Setelah memberikan jawaban itu, Whasil
berdiri dan berjalan menuju ke salah satu sudut masjid. Di sini ia kembali
menegaskan dan menjelaskan pendapatnya tersebut kepada kawan-kawannya. Melihat
sikap Whasil demikian, Hasan al-Bashri berkata,”I’tazala ‘anna Washil (wasil telah memisahkan diri dari
kita)”. Sejak itulah Whasil dan kawan-kawan serta pengikutnya dinamakan
mu’tazilah. [5]
Mu’tazilah dalam
bentuk pertama (abad pertama Hijriah) tidak berkembang dan bukan merupakan
aliran teologi Islam. Mu’tazilah yang berkembang dan menjadi salah satu aliran
teologi ialah Mu’tazilah bentuk kedua, pimpinan Whasil bin Atha’.
B. Ajaran-ajaran Mu’tazilah
Menurut
Al-Bagdady dalam kitabnya (al-Farqu bainal
Firaqi) alran Mu’tazilah terpecah-pecah menjadi 22 golongan, dua
diantaranya dianggap sudah keluar dari Islam. Meskipun terpecah-pecah, namun
semuanya masih tergabung dalam al-Ushul
al-Khamzah (lima ajaran dasar), yaitu:
1. At-Tawhid
(ke-Esa-an)
At-Tawhid dalam pandangan
Mu’tazilah berarti meng-Esa-kan Allah dari segala sifat dan af’alnya yang
menjadi pegangan bagi akidah Islam. Orang-orang Mu’tazilah dikatakan ahli
Tauhid, karena ereka berusaha seaksimal mungkin mempertahankan prinsip
keTauhidannya dari serangan Syi’ah Rafidiyah yang menggambarkan Tuhan dalam
bentuk Jisim, dan bisa menghindari serangan dari agama dualise dan Tritinas.
2. Al-Adlu
(keadilan)
Manusia adalah merdeka
dalam segala perbuatannya dan bebas bertindak, oleh karena kebebasan itulah
manusia harus mempertanggungjawabkan atas segala perbuatannya. Apabila
perbuatan itu baik, maka Tuhan memberi kebaikan dan kalau perbuatan itu jelek
atau salah jelas, siksaan dari Tuhan yang didapat. Inilah yang mereka maksud
keadilan.
3. Al-Wa’du
wal Wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip janji dan
ancaman yang dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan
Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya.
Di sinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak terlalu
menjalankan kehidupannya.
4. Al-Manzilah
bainal Manzilataini (tempat diantara dua tempat)
Sebagai diuraikan
terdahulu bahwa dimaksud dengan tempat diantara dua tempat yang dikemukakan
oleh kaum Mu’tazilah yaitu tempat bagi orang Fasik, yaitu orang-orang
Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, nanti akan
ditempatkan disuatu tempat yang berada diantara surga dan neraka. Doktrin ini
oleh sebagian teolog dipandang membingungkan dan tidak jelas. Sebab tidak
terdapat penjelasan yang kongkrit dan riil tentang dasar yang digunakan oleh
Mu’tazilah dan keadaan tempat tersebut.
5. Amar
Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kejelekan)
Dasar ini pada
kenyataannya hanya sekedar berhubungan dengan amalan batin dan dengan dasar itu
pula membuat heboh dunia Islam selama 300 tahun, pada abad permulaan Islam,
sebab menurut mereka: “Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan
harus dibenarkan atau diluruskan”. Kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap
muslimin dan muslimat untuk menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada
orang yang sesat. Dalam melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar, Mu’tazilah berpegang kepada Al-Hadist yang
artinya: “siapa diantaramu yang melihat
kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu”.
C. Janji dan
Ancaman Menurut Ajaran Mu’tazilah
Ajaran ini
berisi tentang janji dan ancaman. Tuhan yang Maha adil tidak akan
melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan di batasi oleh
janjinyasendiri. Ini sesuai dengan prinsip keadilan.Ajaran ketiga ini tidak
memberi peluang bagi Tuhan selain menunaikan janjinya yaitu memberi pahala
orang yang ta’at dan menyiksa orang yang berbuatmaksiat, ajaran ini tampaknya
bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan
dosa.
Ajaran ini
merupakan kelanjutan dari keadilan Tuhan, Tuhan tidak disebutadil jika ia tidak
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukumorang yang berbuat
buruk, karena itulah yang dijanjikan oleh Tuhan. QS. Al Zalzalahayat
7-8.Terjemahnya: “Barang siapa yang
berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscayadia akan lihat balasannya, (7)
dan barang siapa yang berbuat keburukan seberat biji zarrah, niscaya dia
akan melihat balasannya pula.(8).”
Kaum Mu’tazilah
meyakini bahwa jika seseorang masuk neraka, seharusnyatidak akan menuju kesana
dengan alasan sifat Rahman Tuhan atau dengan alasanadanya campur tangan Tuhan.
Sedang kalangan Mu’tazilah meyakini bahwa dosadapat diampuni oleh tuhan, bahkan
ketika seseorang telah berada di dalam nerakasekalipun, atau keyakinan mereka
yang menyatakan bahwa orang mukmin dapatdikeluarkan dari neraka ketika
dosa-dosa mereka telah habis oleh siksaan neraka.Mu’tazilah menolak pandangan
bahwa di dalam surga seseorang akan melihatTuhan, dengan alasan bahwa setiap
bentuk penglihatan terhadap Tuhan akanmenempatkan tuhan pada dimensi ruangan.
Nabi Muhammad diriwayatkan pernah bersabda bahwa penghuni syurga akan
menyaksikan Tuhan. Ketika ditanya perihal bagaimana melihat Tuhan, nabi
menjawab: “sebagaimana orang melihat bulan purnama”, maksudnya adalah dengan
melalui “refleksi” (Pancaran, secara tidak langsung) sebagaimana bulan
memancarkan cahaya matahari.
Tuhan yang Maha
Adil dan Bijaksana, tidak akan melanggar janjinya. KaumMu’tazilah yakin bahwa
janji dan ancaman itu pasti terjadi, yaitu janji Tuhan yang berupa pahala
(surga) bagi orang yang berbuat baik, dan ancamannya yang berupasiksa (neraka)
bagi orang yang berbuat durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk memberi
pengampunan bagi orang yang bertaubat.Yang mereka maksud dengan landasan ini
adalah bahwa wajib bagi Allahuntuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku
kebaikan agar dimasukkan kedalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya ( al-wa’id)
bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam
An-Naar, kekal abadi didalamnya, akan tetapi siksa yang diterimanya lebih
ringan daripada siksa orang yangkafir. Tidak boleh bagi Allah untuk
menyelisihkan hal ini. Dan inilah yang merekasebut dengan janji dan ancaman
itu. Sehingga mereka sering disebut dengan Wa’idiyyah Bantahannya:1) Seseorang
yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya(seperti yang
dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dantidaklah pantas bagi
makhluk untuk mewajibkan yang demikian itu, karenatermasuk pelecehan terhadap
Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguankepada Allah terhadap Firman-Nya :
“Sesungguhnya Allah tidak menyelisihi janji-Nya”. (Ali-Imran: 9) Bahkan
Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendirisebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.
Adapun orang-orang yangmendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di
bawah syirik) danmeninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan
kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak
pulauntuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan
Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih Lagi MahaPenyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubatdarinya) dan
mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yangdikehendaki-Nya.”
(An-Nisa: 48).2) Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah
syirik) kekalabadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah
dalam SuratAn-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda
Rasulullah SAWyang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar
gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam
keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.”
Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “
Walaupun berzina dan mencuri “ ( HR. Al-Bukhori Dan muslim dari sahabat
Abu Dzar Al-Ghiffari ) namun meskipun mungkin mereka harus masuk neraka
terlebih dahulu.
BAB III
KESIMPULAN
Ajaran dasar dalam aliran mu’tazilah
tentang janji dan ancaman tuhan ( Al Wa’du wal Wa’id ).prinsip ini sangat erat
hubungannya dengan keadilan tuhan.prinsip ini kelanjutan dari prinsip yang
kedua yaitu tentang keadilan tuhan.yang artinya aliran mu’tazilah yakin bahwa
tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janji-Nya,yaitu
janji akan memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan janji akan
menjatuhkan siksaan bagi orang yang durhaka pada-Nya.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan
tuhan.jelasnya siapa yang berbuat baik akan di balas dengan kebaikan
pula.begitu pula sebaliknya siapa yang berbuat ma’siat maka akan di balas
dengan siksaan yang pedih.dengan kata lain barang siapa yang keluar dari dunia
dengan segala ketaatan dan penuh taubat,ia berhak atas pahal yang di janjikan
tuhan.dan siapa yang keluar dari dunia tanpa taubat dari dosa besar,maka ia
akan di abadikan di neraka walau lebih ringan siksaannya dari orang kafir
Pendirian ini kebalikan dari pendapat
golongan murji’ah yang mengatakan bahwa kema’siatan tidak mempengaruhi iman
kalau pendirian ini di benarkan,maka ancaman tuhan tidak akan ada
artinya.karena itulah golongan mu’tazilah mengingkari adanya syafaat pada hari
kiamat,dengan mengenyampingkan ayat ayat yang menetapkan adanya syafi’at ( baca
Al Baqarah ayat 254 dan 45 ),karena menurut mereka hal itu bertentangan dengan
prinsip janji dan ancaman tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
muhamandrianto.blogspot.com :)
BalasHapus