Konsep budaya
politik merupakan sebuah upaya sistematik untuk menerapkan pandangan-pandangan
psikologi sosial pada kajian politik komparatif. Gabriel Almond, seorang
ilmuwan pelopor teori budaya politik pada tahun 1956 menegaskan bahwa “setiap
sistem politik itu melekat dalam pola orientasi tertentu terhadap aksi
politik…. budaya politik.”[3] Pada karya selanjutnya, Almond dan Verba
mendefinisikan budaya politik sebagai “…orientasi politik khusus—sikap-sikap
terhadap sistem politik dan berbagai macam bagian dan sikap terhadap peran
kedirian dalam sistem tersebut” Pada tahap selanjutnya, Verba mendefinisikan
budaya politik sebagai “sistem keyakinan empiris, simbol ekspresif, dan nilai
yang mendefinisikan situasi di mana tindakan politik terjadi.”
Konsep budaya
politik modern telah menggantikan pandangan yang sudah jamak dipegangi tentang
karakter nasional, modal kepribadian dan kebiasaan, serta adat-istiadat dari
komunitas politik.[6] Konsep budaya politik mencakup banyak aspek dalam fenomena
politik, tradisi politik dan cerita kepahlawanan rakyat, semangat institusi
publik, politik kewargaan, tujuan yang diartikulasikan sebuah ideology politik,
aturan main politik formal maupun non-formal, stereotip, gaya, moda dan langgam
pertukaran politik, dan sebagainya. Namun demikian, konsep ini biasanya
diringkas sebagai “pola distribusi orientasi terhadap politik yang dimiliki
oleh para anggota komunitas politik.”
Budaya
politik sebagai sebuah kerangka kerja analitik sebenarnya sudah tidak lagi
mampu mengakomodasi sejumlah perkembangan baru dalam kajian ilmu
sosial-politik, seiring dengan semakin kompleksnya perkembangan masyarakat
dengan berbagai variabel dan elemennya. Oleh karena itu, budaya politik sebagai
kerangka kerja analitik sudah banyak ditinggalkan oleh kebanyakan ilmuwan
politik modern, karena ia tidak lagi mampu menjelaskan sebuah komunitas dengan
berbagai kompleksitasnya yang tidak lagi bisa dijelaskan melalui perspektif
tunggal. Kenyataannya, struktur sebuah masyarakat sangatlah kompleks, dan aspek
budaya bukan satu-satunya elemen pembentuk sebuah masyarakat. Tterdapat banyak
variabel lain selain budaya yang juga turut membentuk sebuah masyarakat,
seperti ekonomi, kepentingan, dan lain sebagainya.
Dalam
artikelnya yang berjudul ‘Political Culture’, Pye menyatakan bahwa “jika konsep
budaya politik hendak dimanfaatkan secara efektif, ia perlu dilengkapi dengan
analisis struktural. Namun demikian, kesulitannya adalah bahwa struktur politik
di satu sisi dapat dilihat sebagai produk yang merefleksikan budaya politik,
tetapi juga bersifat “given” yang membentuk budaya politik, di sisi lain.”
Tanpa melihat
celah-celah kelemahan teoretik dimaksud, budaya politik sebagai kerangka kerja
teoretik tetap masih diperlukan guna membedah realitas kehidupan politik di
sebuah negara atau masyarakat. Analisis budaya politik terutama bermanfaat
ketika kita hendak mengetahui sejauhmana budaya memainkan perannya dalam
membentuk perilaku kolektif sebuah komunitas politik; apakah perilaku kolektif
tersebut produktif dalam konteks pengembangan masyarakat secara umum, bagaimana
budaya politik sebuah masyarakat mengalami transformasi menuju masyarakat yang
lebih terbuka, adil dan sejahtera. Dalam konteks inilah, makalah ini tetap
memanfaatkan perspektif budaya politik dalam melihat realitas perpolitikan di
Indonesia.
Patrimonialisme,
Karakteristik Budaya Politik di Indonesia
Salah satu
karakteristik budaya politik yang dialami di banyak negara berkembang, termasuk
Indonesia, adalah patrimonialisme. Dalam budaya politik semacam ini, pola
kekuasaan berjalan di atas prinsip relasi kuasa antara penguasa sebagai patron
(baca: pengayom, pelindung atau penjamin kesejahteraan, keamanan dan
kenyamanan) dan rakyat sebagai obyek yang dilindungi, diayomi dan dijamin
kenyamanan, keamanan dan kesejahteraannya. Menurut Max Weber, patrimonialisme
merupakan pola relasi kekuasaan tradisional antara seorang patron dan client,
di mana
“obyek
ketaatan terhadap otoritas pribadi yang dia nikmati berpijak pada status
tradisional. Kelompok organisasi yang menjalankan otoritas, dalam kasus yang
paling sederhana, terutama berdasar pada hubungan loyalitas individu, yang
dikembangbiakkan melalui proses pendidikan. Individu yang menjalankan otoritas
bukanlah orang yang ‘hebat’, tetapi seorang ‘pemimpin’. Staf administratifnya
tidak terdiri dari para pegawai, tetapi pelatih pribadi…. Apa yang menentukan
hubungan staf administratif dengan pemimpin bukanlah kewajiban kantor yang
bersifat impersonal, tetapi loyalitas individu kepada sang pemimpin.”
Indonesia,
sebagai negara berkembang, memiliki akar sejarah patrimonialisme yang cukup
kuat, yang oleh David Brown disebut sebagai “neo-patrimonialisme.” Kekuasaan
neo-patimonialisme dicirikan oleh ikatan personal antara pimpinan dan anggota
organisasi atau lembaga yang dipimpin, bukan ikatan struktural-organisasional.
Pola relasi dalam lembaga semacam ini lebih banyak bekerja berdasar atas
kesetiaan personal para anggota organisasi, dan bukan kesetiaan terhadap
lembaga itu sendiri. Akibatnya, kinerja seorang pegawai di sebuah lembaga
sangat ditentukan oleh figur-figur pimpinannya, bukan atas dasar kewajiban dan
tanggungjawabnya sebagai staf.
Sistem relasi
dalam kekuasaan semacam ini seringkali disebut sebagai pola relasi
patron-client, di mana seorang pemimpin diperlakukan sebagai patron, pelindung
atau penjamin kenyamanan hidup bagi anggota masyarakat yang dipimpinnya.
Sementara itu, masyarakat menempati peran sebagai client, di mana isu-isu
terkait kesejahteraan dan kemalangan sosial berada di tangan sang pemimpin atau
patron. Pola relasi semacam ini pada umumnya berkembang biak di sejumlah negara
yang memiliki sejarah kerajaan yang kuat, seperti Indonesia, di mana seorang
raja diperlakukan sebagai pihak yang dilayani oleh rakyatnya. Raja juga menjadi
pusat dari seluruh rangkaian kekuasaan yang berhak menikmati kesejahteraan
akibat dari kekuasaan yang digenggamnya itu.
Jika dalam
masyarakat tradisional patrimonialisme dicirikan oleh keterpisahan antara raja
dari masyarakatnya dalam hal menikmati kesejahteraan dan keamanan sosial, maka
dalam masyarakat neo-patrimonialisme seorang pemimpin dan yang dipimpin
bersama-sama menikmati kesejahteraan dalam sebuah kekuasaan. Hal ini terjadi
karena mobilisasi masyarakat menentukan pola relasi di antara keduanya, di mana
dalam masyarakat neo-patrimonial terdapat motif simbiosis mutualisma antara
pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Seorang pemimpin menyediakan kesejahteraan,
sementara rakyat yang dipimpin menyediakan loyalitas kepada pemimpinnya. Begitu
seorang pemimpin tidak mampu lagi menjamin kesejahteraan kepada rakyatnya, maka
yang kedua memutus loyalitas politiknya kepada sang pemimpin. Sebaliknya,
begitu rakyatnya tidak lagi memberikan loyalitas kepada pemimpinnya, maka sang
pemimpin memutus mata rantai kesejahteraan kepada mereka yang tidak loyal.
Menurut
Webber, budaya politik di Indonesia lebih mengarah pada nilai-nilai patrimonial
dan, karenanya, jenis sistem politik dan demokrasi yang berkembang adalah
sistem politik dan demokrasi patrimonial. Sistem politik jenis ini mengandaikan
kondisi di mana para pemegang kebijakan mengeksploitasi posisi mereka hanya
untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, bukan kepentingan universal.
Korupsi yang
merajalela merupakan manifestasi utama nilai dan praktik budaya politik patrimonial
yang telah berurat berakar dalam struktur kesadaran masyarakat Indonesia.
Pemerintahan patrimonial, dalam definisi klasik Max Weber, tidak mengenal
pemisahan birokratis antara wilayah “private” dan “official”. Penguasa
patrimonial mengeksploitasi kekuasaannya seolah-olah ia adalah “hak milik
pribadi”, yang tidak dibatasi oleh norma dan peraturan hukum. Kantor dan
kegiatan otoritas publik melayani penguasa dan pegawainya, mereka tidak
melayani tujuan-tujuan yang impersonal. Praktik patrimonialisme adalah
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan atau, dalam bahasa sederhananya, korupsi.
Kerajaan Jawa
tradisional yang ada sebelum Belanda menjajah kepulauan Indonesia yang
diperintah atas dasar patrimonialisme ala Weber. Para penguasa Jawa memperoleh
kesetiaan dari para pegawainya dengan memberi mereka hak atas penghasilan dari
tanah yang bisa dieksploitasi secara komersial, tetapi tidak untuk dijual atau
dimiliki. Menurut Anderson, patrimonialisme muncul kembali di Indonesia karena
ia adalah gaya pemerintahan tradisional pada masa pra-kolonial dan karena juga,
dalam kekacauan ekonomi tahun 1950an, birokrasi rasional-legal yang diwariskan
oleh Belanda terbukti tidak mampu bertahan secara ekonomi.
Pada masa
pemerintahan Orde Baru, pola pemerintahan patrimonialisme mewujud dalam bentuk
pemerintahan yang sentralistik dengan sejumlah sayap kelembagaan yang berfungsi
sebagai “pengayom” bagi kepentingan masyarakat, namun dengan imbalan kekuasaan
atau sumber daya material bagi para pemangku kekuasaan. Istilah “pamong praja”
dalam sistem pemerintahan Orde Baru menggambarkan betapa pejabat diasumsikan
memiliki fungsi kepengayoman kepada masyarakat luas, namun fungsi tersebut
tidak gratis. Di samping menyerahkan loyalitas, masyarakat yang diayomi harus
memberikan sejumlah imbalan tertentu sebagai balas budi mereka atas kenyamanan
hidup yang sudah dinikmati mereka. Dari sinilah praktik pungutan (liar),
pemerasan, percaloan politik, dan semacamnya menemukan akarnya, karena berbagai
kenyamanan dan kemudahan yang dinikmati oleh rakyat dikonstruksikan sebagai
“tetesan rejeki” (trickle-down effect) dari atas, bukan karena hak yang melekat
pada tiap-tiap individu.
Pola
patrimonialisme pada masa Orde Baru membentuk semacam piramida kekuasaan yang
puncaknya dihuni oleh Suharto sebagai patron tertinggi dari rezim ini, yang di
bawahnya ditopang oleh seluruh elemen politik di kantor birokrasi, sayap
militer, organisasi sosial-kemasyarakatan dan partai politik. Pembangkangan
terhadap sistem politik patrimonial Orde Baru merupakan bentuk resistensi yang
akan dilawan oleh rezim penguasa dengan tekanan politik, pemangkasan hak serta
peminggiran peran-peran sosial-politik yang seharusnya dinikmati oleh segenap
warga negara. Pada kenyataannya, sistem oposisi tidak diperkenankan pada masa
ini, karena yang demikian ini bisa mengancam “zona kenyamanan” (comfort-zone)
para penguasa beserta pihak-pihak yang turut menopang keberlangsungan rezim
Orde Baru. Sinergi elemen-elemen penopang tersebut menjadi mesin politik yang
bekerja secara efektif dan masif atas dasar praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme), yang keberadaannya menjalar dari tingkat atas (pemerintah pusat)
hingga ke dasar piradima kekuasaan (pemerintah propinsi, kabupaten, kecamatan
dan desa), dengan bantuan perangkat birokrasi, militer, hingga tokoh masyarakat
dan agama.
Pada masa
pasca-Orde Baru, watak dasar politik patrimonial tetap berlangsung, namun
dengan format dan baju yang berbeda. Patrimonialisme mengalami metamorfosis
menjadi “neo-patrimonialisme,” yang ditandai dengan menyebarnya simpul-simpul
kekuasaan ke sejumlah titik yang lebih merata seiring dengan perubahan
kebijakan desentralisasi politik. Seolah ingin menikmati kenyamanan ala
penguasa Orde Baru, para penguasa lokal memerankan diri sebagai patron bagi
komunitas yang dipimpinnya dengan imbalan loyalitas politik dan atau sumber
daya ekonomi. Pemeran politik patrimonial bukan lagi terpusat pada individu,
tetapi lembaga sosial politik, terutama partai politik (parpol). Slogan-slogan
yang menjanjikan kesejahteraan rakyat dibuat untuk mengagregasi dukungan
politik untuk memenangi proses kontestasi dalam Pemilu, tetapi individu atau
parpol seringkali mengingkarinya setelah yang pertama naik ke tampuk kekuasaan.
Bentuk lain
dari pola politik patrimonial adalah digunakannya anggaran negara oleh
incumbent yang masih menjabat untuk mendanai kampanye politiknya. Akibatnya,
pihak incumbent selalu diuntungkan oleh posisinya yang masih memiliki akses
terhadap sumber-sumber ekonomi-politik negara. Di samping itu, politik
patrimonialisme dapat mewujud dalam realisasi program pembangunan yang didanai
oleh anggaran negara, tetapi diklaim didanai oleh parpol pihak incumbent. Pola
politik patrimonial semacam ini jelas akan merugikan bukan saja rakyat banyak
sebagai stakeholder utama negara ini, tetapi juga para penantang yang muncul di
luar lingkaran kekuasaan.
Praktik
politik patrimonialisme, dengan demikian, tidak menguntungkan bangsa dan negara
secara umum, karena distribusi berbagai bentuk kenyamanan sosial-politik
seperti kesejahteraan, kenyamanan dan keamanan berada di tangan patron-patron
politik yang tengah memegang kekuasaan. Ada asumsi bahwa kesejahteraan warga
negara berada di tangan penguasa. Di bawah sistem politik semacam ini, pucuk
piramida kekuasaan hanya dihuni oleh para penguasa politik yang ditopang oleh
struktur kelembagaan modern seperti parpol, dan rakyat hanya menempati dasar
piramida kekuasaan.
Catatan Penutup
Tidak ada
cara lain untuk mengubah budaya politik patrimonial kecuali dengan membalikkan
paradigma beripikir masyarakat bahwa politik kekuasaan bukanlah panggung
bermain bagi para elit-penguasa, tetapi sekadar sebagai alat untuk
didedikasikan bagi pemenuhan kebutuhan dasar warga negara dalam menciptakan
kemaslahatan bersama (publik good). Konsekuensinya, posisi rakyat yang
sebenarnya dalam struktur negara modern adalah raja yang harus dilayani oleh
para pejabat atau penguasa, bukan sebaliknya; pelayan yang harus melayani
segala kebutuhan penguasa seperti dalam hierarkhi sistem politik kuno. Pajak
dan retribusi yang dibayarkan oleh rakyat harus dikembalikan dalam bentuk
pelayanan prima atas segala kebutuhan masyarakat, bukan malah dinikmati oleh
segelintir elit yang bertengger di puncak piramida kekuasaan.
Pada
kenyataannya, struktur kelembagaan yang ada belum mampu menjalankan fungsi
kepelayanan sebagaimana dikandung dalam negara ideal. Masyarakat masih tetap
menjadi bantalan di atas mana segelintir elit menikmati mobilitas vertikal
mereka melalui kekuasaan yang digengamnya. Berbagai produk perundangan yang
digodok oleh lembaga legislatif juga belum mampu menyentuh kebutuhan dasar
masyarakat, karena lembaga ini lebih disibukkan oleh urusan perebutan dan
kontestasi kekuasaan. Partai politik, yang diharapkan bisa berperan sebagai
katalisator aspirasi rakyat juga setali tiga uang; sibuk mengagregasi sumber
daya ekonomi-politik demi meraih kekuasaan. Dalam sistem politik semacam ini,
rakyat tetap saja diposisikan sebagai obyek penderita yang selalu dieksploitasi
oleh para elitnya. Rakyat selalu dibutuhkan oleh ara elit kekuasaan pada
saat-saat tertentu ketika ada perhelatan politik seperti pemilihan umum.
Selepas itu, ketika kekuasaan sudah berada di genggaman, rakyat pun
ditinggalkan. Penguasa lebih asyik dengan urusan-urusan individu, keluarga dan
parpolnya.
Semestinya,
politik adalah mekanisme yang dgunakan untuk mengatur lalu-lintas distribusi
kekuasaan. Subyek sekaligus obyek dalam siklus politik modern adalah rakyat,
sementara para elit-pejabat berposisi sebagai pelayan mereka. Politik harus
diabdikan untuk menggapai tujuan berbangsa dan bernegara, yakni untuk
memakmurkan, menyejahterakan dan membahagiakan setiap waga negara. Struktur
kelembagaan negara, dengan demikian, berfungsi sebagai problem solver bagi
berbagai bentuk persoalan yang muncul di masyarakat.
Dalam sebuah
masyarakat modern, kekuasaan haruslah impersonal. Artinya, struktur kelembagaan
negara tidak dijalankan atas dasar pola relasi kekerabatan yang bisa
menimbulkan bias dan penyelewengan kekuasaan. Loyalitas bawahan dalam sistem
semacam ini tidak ditujukan kepada orang-perorang yang berkuasa, tetapi kepada
sistem dan struktur kelembagaan negara. Para elit-pejabat hanya menjalankan
tugas dan fungsinya dalam rangka merealisasikan terbentuknya negara berbasis
pada kemaslahatan bersama.
Tkx ya buat artikel ya... bantu bngt :)
BalasHapusSiip..
Hapus