BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Problematika
pendidikan yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah terdapatnya
kesenjangan yang cukup lebar antara pengetahuan yang dimiliki para siswa dengan
sikap dan perilakunya. Banyak siswa yang tahu atau hafal materi pelajaran,
tetapi tidak mampu mengaplikasikan pengetahuannya tersebut bagi peningkatan
kualitas kehidupannya. Sebagai contoh, siswa tahu tentang makanan sehat, tetapi
perilaku makannya tidak menunjukkan perilaku makan yang sehat, siswa lebih banyak
yang menyukai dan memilih fast food dan soft drink daripada makan nasi dan
sayur serta minum susu. Contoh lain, siswa tahu bagaimana berperilaku sosial
yang baik, tetapi mereka kurang mampu menghargai orang lain, bertoleransi atau
berperilaku sopan. Pengetahuan menjadi sesuatu yang hanya dihafal saja tetapi
tidak berpengaruh dalam kehidupannya. Pengetahuan hanya ‘mampir’ sebentar dan
kemudian ‘menguap’ begitu saja, seolah tid ak berbekas dalam kehidupan siswa.
Mengapa pendidikan kita menghasilkan generasi penerus yang demikian?
B. Rumusan
masalah
Bagaimana Bentuk pembelajaran berbasis kontekstual ?
C. Tujuan
Mengetahui bentuk Pembelajaran berbasis kontekstual.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pembelajaran
Kontekstual
Ada kecenderungan
dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika
lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami
apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi
pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka
pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan
jangka panjang.
Pendekatan
kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna
bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam kelas
kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya,
guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas
guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan
sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari
menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang
dikelola dengan pendekatan kontekstual.
B. Pemikiran
tentang belajar
Pendekatan
kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar
sebagai berikut.
1. Proses belajar
Belajar tidak
hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkontruksi pengetahuan di benak mereka.
Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari
pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru. Para ahli sepakat
bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan
pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan. Pengetahuan tidak dapat
dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi
mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Manusia mempunyai tingkatan
yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. Siswa perlu dibiasakan memecahkan
masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan
ide-ide. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak
itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan
keterampilan sesorang.
2. Transfer Belajar
Siswa belajar
dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit) Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit) Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
3. Siswa sebagai Pembelajar
Manusia
mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak
mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. Strategi
belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan
tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting. Peran orang
dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.
Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
4. Pentingnya Lingkungan Belajar
Belajar efektif
itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru akting
di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru
mengarahkan. Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan
pengetahuan baru mereka.Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan
hasilnya. Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian
yang benar. Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu
penting.
C. Hakekat
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran
kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme
(Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat
belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya
(Authentic Assessment).
Secara hakiki
model pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning adalah :
(1) Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi
siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan
mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari
(konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/
keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu
permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya, (2) Merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang
diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat.
Perlu kita
ketengahkan pula bagaimana perbedaan model pembelajaran kontekstual dengan
model pembelajaran tradisional. Kalau model pembelajaran kontekstual penekanan
pembelajarannya lebih kepada: (1) Menyandarkan pada pemahaman makna, (2)
Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa, (3) Siswa terlibat secara
aktif dalam proses pembelajaran, (4) Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan
nyata/masalah yang disimulasikan, (5) Selalu mengkaitkan informasi dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa, (6) Cenderung mengintegrasikan beberapa
bi-dang, (7) Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali,
berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah
(melalui kerja kelompok), (8) Perilaku dibangun atas kesadaran diri, (9)
Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman, (10) Hadiah dari perilaku baik
adalah kepuasan diri. yang bersifat subyektif, (11) Siswa tidak melakukan hal
yang buruk karena sadar hal tersebut merugikan, (12) Perilaku baik berdasarkan
motivasi intrinsik, (13) Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan
setting, (14) Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik.
Demikian pula
kalau kita me-ngetengahkan model pembelajaran tradisional, maka ada beberapa
penekanan, diantaranya (1) Menyandarkan pada hapalan, (2) Pemilihan informasi
lebih banyak ditentukan oleh guru, (3) Siswa secara pasif menerima informasi,
khususnya dari guru, (4) Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis, tidak
bersandar pada realitas kehidupan, (5) Memberikan tumpukan informasi kepada
siswa sampai saatnya diperlukan, (6) Cenderung terfokus pada satu bidang
(disiplin) tertentu, (7) Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk
mengerjakan buku tugas, mendengar ceramah, dan mengisi latihan (kerja
individual), (8) Perilaku dibangun atas kebiasaan, (9) Keterampilan dikembangkan
atas dasar latihan, (10) Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai
rapor, (11) Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman,
(12) Perilaku baik berdasarkan motivasi entrinsik, (13) Pembelajaran terjadi
hanya terjadi di dalam ruangan kelas, dan (14) Hasil belajar diukur melalui
kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.
Perbedaan dari
model pembelajaran kontelstual dengan model pembelajaran tradisional sama
banyaknya, akan tetapi kalau kita kaitkan dengan pembelajaran yang berorientasi
kepada aktivitas, kreativitas, suasana menyenangkan, dan pembelajaran siswa
aktif, maka tentunya model pembelajaran kontekstuallah yang paling tepat
digunakan.
Pembelajaran
model tradisional tidak mungkin kita hilangkan dari suatu proses pembelajaran,
karena untuk menyatukan persepsi dan penjelasan masalah yang akan dikerjakan
oleh siswa, tentulah model tradisional misalnya model ceramah awal dahulu
dilakukan. Dengan model ini siswa dapat memahami dan mengetahui konsep dan
masalah yang akan dilakukan, dan tentunya waktu yang digunakan tidak lebih dari
20 menit. Kemudian barulah model pembelajaran kontekstual dilakukan oleh siswa
di lapangan, karena hakikinya pembelajaran kontekstual lebih banyak dilakukan
di luar kelas.
D. Pengertian
Pembelajaran Kontekstual
Merupakan suatu
proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami
makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut
dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan
kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara
fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke
permasalahan/ konteks lainnya.
Merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang
diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat.
E. Perbedaan
Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Tradisional
·
Kontekstual
* Menyandarkan pada pemahaman makna.
* Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan
siswa.
* Siswa terlibat secara aktif dalam proses
pembelajaran.
* Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah
yang disimulasikan.
* Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan
yang telah dimiliki siswa.
* Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang.
* Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk
menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan
masalah (melalui kerja kelompok).
* Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
* Keterampilan dikembangkan atas dasar
pemahaman.
* Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan
diri. yang bersifat subyektif.
* Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena
sadar hal tersebut merugikan.
* Perilaku baik berdasarkan motivasi intrinsik.
* Pembelajaran terjadi di berbagai tempat,
konteks dan setting.
* Hasil
belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik.
·
Tradisional
* Menyandarkan pada hapalan
* Pemilihan
informasi lebih banyak ditentukan oleh guru.
* Siswa
secara pasif menerima informasi, khususnya dari guru.
* Pembelajaran
sangat abstrak dan teoritis, tidak bersandar pada realitas kehidupan.
* Memberikan
tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan.
* Cenderung
terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu.
* Waktu
belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas,
mendengar ceramah, dan mengisi latihan (kerja individual).
* Perilaku
dibangun atas kebiasaan.
* Keterampilan
dikembangkan atas dasar latihan.
* Hadiah
dari perilaku baik adalah pujian atau nilai rapor.
* Siswa
tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman.
* Perilaku
baik berdasarkan motivasi entrinsik.
* Pembelajaran
terjadi hanya terjadi di dalam ruangan kelas.
* Hasil
belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.
F. Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas
Bahwa untuk
mencapai hasil proses pembelajaran maksimal, berbagai pendekatan dilakukan oleh
guru. Hal ini memungkinkan sebab sebenarnya pendekatan CTL merupakan metode
pembelajaran yang fleksibel. Berbagai kondisi dapat ditangani dengan menerapkan
CTL sebagai metodenya.
Pendekatan CTL
sendiri terdiri atas 7 (tujuh) point utama, yaitu konstruktivisme, menemukan,
bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian yang
sebenarnya. Dan, dari 7 (tujuh) langkah penerapan tersebut, maka kita dapat menganalisa
tingkat signifikansi metode dengan hasil yang dicapai.
Pada kesempatan
ini, kita mencoba untuk menganalisa salah satu langkah penerapan CTL, yaitu
konstruktivisme.
Konstruktivisme
merupakan langkah pendekatan dalam proses pembelajaran yang menekankan pada
upaya memberikan kesempatan seluasnya kepada siswa untuk bekerja sendiri dengan
menemukan sendiri hal-hal yang harus dipelajari dan selanjutnya dari penemuan
tersebut, maka siswa dapat membangun atau mengkonstruksi kemampuan dirinya.
Jika kita memberikan kesempatan pada siswa untuk membangun kebiasaan untuk memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya dan terus berusaha untuk melahirkan ide-ide baru agar dapat menjadi milik mereka. Dengan kesempatan yang kita berikan, maka proses membangun kompetensi diri dapat terjadi secara maksimal. Apalagi jika dikaitkan dengan konsep bahwa guru adalah fasilitas pembel-ajaran, maka peranan guru hanyalah terbatas pada memfasilitasi hal-hal yang dibutuhkan siswa dalam proses belajarnya. Kita tidak berhak mencetak siswa sebagaimana keinginan kita, melainkan memberikan kesempatan seluasnya pada siswa untuk mengkonstruksi kondisi dirinya, khususnya terkait dengan hasil pemelajaran.
Jika kita memberikan kesempatan pada siswa untuk membangun kebiasaan untuk memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya dan terus berusaha untuk melahirkan ide-ide baru agar dapat menjadi milik mereka. Dengan kesempatan yang kita berikan, maka proses membangun kompetensi diri dapat terjadi secara maksimal. Apalagi jika dikaitkan dengan konsep bahwa guru adalah fasilitas pembel-ajaran, maka peranan guru hanyalah terbatas pada memfasilitasi hal-hal yang dibutuhkan siswa dalam proses belajarnya. Kita tidak berhak mencetak siswa sebagaimana keinginan kita, melainkan memberikan kesempatan seluasnya pada siswa untuk mengkonstruksi kondisi dirinya, khususnya terkait dengan hasil pemelajaran.
Dalam pada itu
konsep pembelajaran yang kita kenal, yaitu learning by doing benar-benar dapat
kita terapkan. Siswa diarahkan untuk secara langsung mengalami apa-pun yang
ingin dimilikinya. Tentunya, hasil pemelajaran akan sangat bermakna dan memberi
pengalaman belajar positif bagi siswa.
Sementara kita
menyadari bahwa hal terpenting yang kita inginkan dari proses pemelajaran
adalah pengalaman langsung yang diperoleh siswa pada saat mereka ingin
menguasai sebuah kemampuan. Dengan demikian, maka eksistensi pengalaman
tersebut akan melekat di diri siswa dan menjadikannya sebagaisesuatu yang
sangat berharga. Seperti kita ketahui, jika kita memiliki sesuatu yang berasal
dari perjuangan kita sendiri untuk perwujudannya merupakan sesuatu yang sangat
istimewa dan tetap teringat sepanjang masa.
Hal seperti itulah yang sebenarnya diharapkan dari penerapan langkah konstruk-tivisme dalam proses pembelajaran. Bahwa siswa harus mampu membangun pengalaman belajar berdasarkan pengalaman langsung. Dan yang terpenting adalah kesesuaian pengalaman belajar dengan kebutuhan siswa.
Hal seperti itulah yang sebenarnya diharapkan dari penerapan langkah konstruk-tivisme dalam proses pembelajaran. Bahwa siswa harus mampu membangun pengalaman belajar berdasarkan pengalaman langsung. Dan yang terpenting adalah kesesuaian pengalaman belajar dengan kebutuhan siswa.
G. Tujuh Komponen Pembelajaran Kontekstual
1. Konstruktivisme
Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada
pengetahuan awal. Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi”
bukan menerima pengetahuan.
2. Inquiry
Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman. Siswa belajar
menggunakan keterampilan berpikir kritis.
3. Questioning (Bertanya)
Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir
siswa. bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang
berbasis inquiry.
4. Learning Community (Masyarakat
Belajar)
Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar. Bekerjasama dengan
orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
5. Modeling (Pemodelan)
Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan
belajar. Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya.
6. Reflection ( Refleksi)
Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari. Mencatat apa yang telah
dipelajari. Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok.
7. Authentic Assessment (Penilaian
Yang Sebenarnya)
Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa. Penilaian produk (kinerja).
Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.
H. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Dalam bagian berikut akan disampaikan beberapa karakteristik pembelajaran
kontekstual yang dikemukakan beberapa ahli. Menurut Johnson (2002:24), ada
delapan komponen utama dalam system pembelajaran Kontekstual, seperti dalam
rincian berikut:
1.
Melakukan hubungan yang
bermakna (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur diri sendiri
sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara
individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan
orang yang belajar sambil berbuat (learning by doing)
2.
Melakukan
kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work). Siswa membuat
hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan
nyata sebagai pelaku bisnis atau anggota masyarakat
3. Belajar yang diatur
sendiri (sell-regulated learning). Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan:
ada tujuannya, ada hubungan dengan penentuan pilihan, dan ada produknya
4.
Bekerja
sama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja
secara efektif dalam kelompok
5.
Berpikir kritis dan
kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat
berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis,
memcahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti
6.
Mengasuh
atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa memelihara
pribadinya
7.
Mencapai standar yang
tinggi (reaching high standards). Siswa mengenal dan mencapai standar yang
tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya
8.
Menggunakan penilaian
autentik (using authentic assessment). Siswa menggunakan pengetahuan akademis
dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Pendapat lainnya
yaitu Rusman (2009:248) yang memaparkan proses pembelajaran dengan menggunakan
CTL harus mempertimbangkan karakteristik-karakteristik : (1) kerja sama, (2)
saling menunjang, (3) menyenangkan dan tidak membosankan, (4) belajar dengan
bergairah, (5) pembelajaran terintegrasi, (6) menggunakan berbagai sumber, (7)
siswa aktif, (8) sharing dengan teman, (9) siswa kritis guru kreatif, (10)
dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, (11) laporan
kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan
praktikum, karangan siswa, dan lain-lain. Kurikulum dan pengajaran yang
didasarkan pada strategi pembelajaran konstekstual harus disusun untuk
mendorong lima bentuk pembelajaran penting: Mengaitkan, Mengalami, Menerapkan,
Kerjasama, dan Mentransfer.
1. Mengaitkan: Belajar
dalam konteks pengalaman hidup, atau mengaitkan. Guru menggunakan strategi ini
ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi
dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi
baru. Kurikulum yang berupaya untuk menempatkan pembelajaran dalam konteks
pengalaman hidup harus bisa membuat siswa memperhatian kejadian sehari-hari
yang mereka lihat, peristiwa yang terjadi di sekitar, atau kondisi-kondisi
tertentu, lalu mengubungan informasi yang telah mereka peroleh dengan pelajaran
kemudian berusaha untuk menemukan pemecahan masalah terhadap permasalahan
tersebut.
2.
Mengalami: Belajar
dalam konteks eksplorasi, mengalami. Mengalami merupakan inti belajar
kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan
pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat
ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan-bahan dan untuk melakukan
bentuk-bentuk penelitian aktif.
3. Menerapkan:
Menerapkan konsep-konsep dan informasi dalam konteks yang bermanfaat bagi diri
siswa. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan
masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistik
dan relevan.
4.
Kerjasama:
Belajar dalam konteks berbagi, merespons, dan berkomunikasi dengan siswa lain
adalah strategi pengajaran utama dalam pengajaran kontekstual. Siswa yang
bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan.
Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah
yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman bekerja sama tidak hanya
membantu siswa mempelajari materi, juga konsisten dengan dunia nyata. Seorang
karyawan yang dapat berkomunikasi secara efektif, yang dapat berbagi informasi
dengan baik, dan yang dapat bekerja dengan nyaman dalam sebuah tim tentunya
sangat dihargai di tempat kerja. Oleh karena itu, sanat penting untuk mendorong
siswa mengembangkan keterampilan bekerja sama ini.
5.
Mentrasfer:
Belajar dalam konteks pengetahuan yang ada, atau mentransfer, menggunakan dan
membangun atas apa yang telah dipelajari siswa. Peran guru membuat
bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus pada pemahaman bukan hapalan.
I. Menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis
Kontekstual
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan
rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi
tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik
yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media
untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah
pembelajaran, dan authentic assessmennya.
Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi
tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya.
Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran
konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang
membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih
menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional),
sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario
pembelajarannya.
Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut.
Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut.
Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan
siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar,
Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar, Nyatakan tujuan umum pembelajarannya,
Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu Buatlah skenario tahap demi tahap
kegiatan siswa Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa
dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran.
BAB
III
P E N U T U P
P E N U T U P
A.
Simpulan
Kebutuhan dan tantangan dalam proses
pendidikan selalu berubah seiring dengan perubahan kondisi dan situasi jaman.
Supaya proses pendidikan yang kita lakukan dapat menjawab tantangan jaman, maka
diakui atau tidak kitapun harus berubah, baik dalam cara berpikir, pendekatan
dalam proses pengajaran, maupun ketrampilan baru yang kita perlukan dalam
proses pembelajaran.
Perubahan memang bukan sesuatu yang
mudah dilakukan, kendala dan tantangan pasti akan datang menghadang, tetapi
tantangan bukanlah hal yang harus ditakuti, justru tantangan inilah yang akan
menumbuhkan motivasi.
B.
Saran
Semua model pemelajaran sangat efektif
untuk digunakan dalam proses belajar mengajar. Akan tetapi hanya saja tidak
semua peserta didik disamakan dalam satu model pembelajaran karena setiap
karakter kelas berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
2009-26-September. Model belajar dan pembelajaran berorientasi kompetensi siswa : www.pkab.wordpress.com / (diakses, 20:00)
Dimyati, Dr, Mudjiono, Drs. Belajar dan pembelajaran : Rineka Cipta
Suryasubrata.1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
A.M. Muliono (2003), “Pembelajaran”, Kompas 26/7/03.
Sardjito, Drs. Perencanaan Pembelajaran (suatu modul perencanaan pembelajaran)
mksh mksh ;)
BalasHapus