Sabtu, 23 Februari 2013

Makalah Perubahan Sosial Budaya di Era Reformasi



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dinamika bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir ini berlangsung dengan sangat cepat. Dimulai dari sebelum masuknya era reformasi atau di penghujung orde baru, riak itu terasa deras. Pasca jatuhnya kekuasaan orde baru, berbagai peristiwa sosial berlangsung silih berganti dengan sangat cepat. Pucuk pimpinan di tingkat nasional pun—sebelum Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono—tidak pernah ada yang mencapai waktu maksimal dua periode. Bahkan Gus Dur dihentikan di tengah jalan.
Di tingkat daerah—seiring otonomi daerah—dinamika yang kencang juga terjadi secara sporadic di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Isu-isu nasional seolah-olah sedang berlomba-lomba dengan isu-isu lokal yang seakan tak mau kalah meriahnya.
Mengamati dinamika ini, menjadi menarik untuk memprediksikan bentuk bangsa dan Negara ini ke depan. Acuan yang digunakan adalah teori-teori tentang perubahan sosial yang secara khsus mengamati berbagai fenomena dalam kehidupan sosial masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1.  Apa yang dimaksud dengan perubahan sosial? Bagaimana bentuk-bentuk perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat?
2.  Apa penyebab terjadinya perubahan sosial budaya?
3.  Faktor-faktor apasaja yang mempengaruhi jalannya proses perubahan?

C. Tujuan
Adapaun tujuan dari penuliasan makalah ini adalah ingin mengetahui perbandingan perubahan sosial dari segi Ekonomi, Birokrasi, Politik dan Sosial Budaya di Indonesia pada masa orde baru dan reformasi







BAB II
PEMBAHASAN


Perubahan sosial dapat dimaknai sama dengan pembangunan / development. Pembangunan menjanjikan harapan baru untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan bagi berjuta-juta rakyat di dunia ketiga. Istilah pembangunan mendominasi dan mempengaruhi pikiran bangsa-bangsa dunia ketiga dan juga mempengaruhi dunia secara global, bahkan nyaris menjadi “agama baru”.
Di Indonesia, kata pembangunan erat kaitannya dengan pemerintahan orde baru. Selain sebagai semboyan, kata pembangunan juga menjadi nama bagi pemerintahan orde baru, sebab kabinet di era pemerintahan orde baru selalu dikaitkan dengan kata pembangunan, meskipun kata pembangunan sesungguhnya telah dikenal dan dipergunakan sejak orde lama.
Ada banyak kata yang mempunyai makna sama dengan kata pembangunan, disamping perubahan sosial, juga pertumbuhan dan modernisasi. Namun pembangunan memberi makna perubahan kearah lebih positif, dan pembangunan juga bergantung pada kontek siapa yang menggunakannya dan untuk kepentingan apa.

A. Perubahan Sosial di Indonesia
Sebagaimana dijelaskan dalam bebagai teori diatas, bahwa perubahan sosial terjadi karena berbagai sebab dan bermacam-macam cara. Untuk melihat dan memetakan perubahan sosial yang terjadi di Indonesia dari waktu ke waktu, bersama ini dipaparkan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia di era Orde Baru dan era Reformasi.
Sebagaimana urian teori diatas, deskripsi ini juga tidak akan menggambarkan seluruh realitas sosial yang terjadi di Indonesia. Namun hanya akan dipaparkan beberapa kasus yang diharapkan dapat menggambarkan ciri perubahan sosial yang terjadi pada era tersebut.

1. Era Orde Baru
Indonesia sebagai Dunia ketiga / negara berkembang juga tidak terlepas dari intervensi dan dominasi negara pertama / negara maju. Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa idiologi developmentalisme pada era orda baru betul-betul diadopsi dan dikembangkan melalui mekanisme kontrol ideologi, sosial dan politik yang canggih. Untuk melindungi ideology pembangunan tersebut Pemerintah menegakkan berbagai pendekatan. Beberapa peraturan dan perundangan yang dihasilkan di era orde baru yang memperkuat posisi negara sekaligus memperlemah posisi politik masyarakat, diantaranya adalah:
·      Inpres Nomor 6 Tahun 1970 tentang monoloyalitas bagi pegawai negeri kepada Golkar,
·      Keputusan MPR Tahun 1971 tentang Konsep masa mengambang yang membatasi kegiatan partai politik hanya sampai di aras Kabupaten,
·      Undang-undang Nomor 3 Tahun 1973 tentang fusi Partai yang hanya memperbolehkan adanya tiga partai politik yaitu: PPP, Golkar dan PDI,
·      Undang-undang Nomor 3 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang meletakkan birokrasi pemerintahan yang berada pada aras terbawah dibawah kontrol Departemen Dalam Negeri sepenuhnya,
·      Instruksi Menteri Dalam Negeri No 2 Tahun 1981 yang memasukkan LMD (semula merupakan organisasi partisipasi masyarakat) kedalam kontrol Departeman Dalam Negeri,
·      Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila yang memberi wewenang penuh bagi Departemen Dalam Negeri untuk mengontrol semua organisasi massa.

Masih banyak lagi upaya-upaya untuk memperlemah peran masyarakat seperti: memperkokoh organisasi militer sampai tingkat Kecamatan dan menempatkan seorang militer untuk setiap Desa (Babinsa), Menggeser pemilihan lurah yang dilakukan secara demokratis dan menggantikan dengan penempatan seorang militer sebagai Kepada Desa. Dan berbagai aturan yang penyeragaman wadah asosiasi sosial dengan penerapan asas tunggal Pancasila, untuk mempermudah melakukan kontrol, seperti : satu-satunya organisasi buruh yang boleh berdiri hanya SPSI, Menciptakan KUD sebagai satu-satunya Koperasi yang diizinkan operasi ditingkat Kecamatan, dan seterusnya. Bahkan dari kebijakan penyederhanaan Partai berakibat pada pemusatan kekuasaan, sebab Presiden sebagai mandatris MPR yang merupakan pimpinan birokrasi sekaligus menjadi Pimpinan tertinggi ABRI adalah Ketua Dewan Pembina Golkar sebagai Partai Pemenang Pemilu yang penuh rekayasa dan tentu mayoritas di parlemen.
Dengan demikian, di era orde baru ini merupakan era pemberangusan hak–hak sipil dan politik rakyat. Di Era orde baru ini dilakukan proses-proses depolitisasi dalam berbagai bidang kehidupan, dan seluruh sumberdaya ekonomi, sosial, politik rakyat dirampas. Dalam melakukan perubahan semua kekuatan sosial politik yang potensial seperti : Petani, Buruh, wartawan, intelektual disatukan sedemikian rupa agar mudah dikontrol dan memiliki pandangan yang sama tentang pembangunan.

2. Era Paska Reformasi
Dalam era ini terjadi perubahan-perubahan yang luar biasa terhadap tatanan yang telah dibangun di era orde baru. Era reformasi ini merupakan puncak dari keruntuhan era orde baru, yaitu Pemerintahan yang sentralistik dan dominan. Dalam era ini terjadi penolakan dan perombakan-perombakan terhadap berbagai kebijakan di era orde baru, diantaranya adalah:
·      Diterbitkannya undang-undang Pemilu yang memberi kebebasan untuk membentuk partai politik, masa mengambang yang dihasilkan di era Orde Baru sudah tidak berlaku lagi, sehingga rakyat dapat menyalurkan aspirasi politiknya secara bebas. Pada Pemilu tahun 1999 terdapat lebih dari 150 partai dan 48 diantaranya bertarung untuk memperebutkan 462 kursi yang ada di DPR. Pada Pemilu tahun 2004 jumlah partai Politik yang telah berbadan hukum sebanyak 50 Partai Politik, sedangkan yang memenuhi persaratan untuk menjadi peserta Pemilu sebanyak 24 partai.
·      DPR, DPD dan MPR jauh representatif, pada Pemilu 1999 masih ada keterwakilan ABRI, tetapi pada Pemilu 2004 sudah tidak ada lagi anggota Parlemen yang tidak dipilih oleh rakyat. Dalam Parlemen dengan bebas dapat membentuk forum-forum, seperti Poros Tengah, Koalisi Kerakyatan, Koalisi Pembangunan dll.
·      Diratifikasinya Konvensi HAM, Amandemen terhadap UUD 1945 dan dihapuskannya pendekatan keamanan dalam proses pembangunan memungkinkan adanya perlindungan hukum dan dihargainya kedaulatan rakyat.
Dari berbagai kebijakan di era reformasi ini telah memberi peluang terhadap kebebasan individu maupun kelompok masyarakat, telah memberi peluang terhadap perubahan sosial yang positif dan lebih domokratis. Pada tataran struktur pemerintahan formal nampak adanya tanda-tanda yang mendukung terwujudnya civil society.
Namun keterbukaan dan kebebasan tersebut tidak dibarengi oleh tanggungjawab, solidaritas, inklusivitas dan kepatuhan kepada hukum, sehingga perubahan sosial yang terjadi tidak didasarkan pada mekanisme demokrasi yang benar, namun mengarah pada memunculkan suatu dominansi masyarakat tertentu, seperti kelompok borjuis, kapitalis atau kelompok-kelompok yang mendasarkan diri pada ikatan primordial (kedaerahan, suku dan agama), contoh kasus: Sambas, Ambon, dan daerah-daerah lainnya. Serta berbagai gerakan yang mengatasnamakan reformasi, namun berakhir pada tindak kekerasan, kerusuhan massal, dan penjarahan. Hal ini disebabkan oleh melemahnya dominasi negara yang diganti oleh dominasi pasar.
Oleh karena itu, di era paska reformasi ini perlu adanya koreksi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam membangun masyarakat yang demokratis, melalui penyediaan arena publik dalam bentuk open haouse, dan berbagai forum serta saluran lainnya sebagai tempat bertemunya negara dengan rakyat. Forum dan saluran tersebut dapat menampung aspirasi rakyat, tempat dan media dimana rakyat secara bebasa melakukan pengawasan, berpartisipasi politik dan meminta pertanggungjawaban. Dengan demikian, kebebasan yang ada berdasarkan kesepakatan bersama, bukan kebebasan yang bersifat liberal, namun mempunyai batasan yang tegas, yaitu: batas kepatuhan Kepada hukum dan HAM serta Kepada batas inklusifitas dan solidaritas.
Adanya pemilihan umum (2004) yang jujur, adil, bebas, dan rahasia, pemilihan Presiden RI secara langsung, merupakan saluran-saluran partisipasi rakyat secara bebas, independen, tidak eksklusif bagi agama tertentu, daerah tertentu, suku tertentu, golongan sosial – ekonomi tertentu atau partai tertentu, namun untuk semua golongan. Hal ini merupakan salah satu bentuk penciptaan ruang bagi rakyat untuk mengembangkan gagasan-gagasan dan pilihan mereka sendiri tentang perubahan sosial.

B. Peran LSM dalam Perubahan Sosial
Pada era orde baru, strategi pembangunan LSM di Indonesia menurut David Korten (1987) dikelompokkan menjadi 3 genarasi, yaitu: generasi bantuan dan kesejahteraan, generasi keswadayaan dalam skala lokal dan generasi pembangunan yang berkelanjutan. Strategi pembangunan yang dikembangkan oleh LSM ini tidak terlepas dari kebijakan LSM international yang juga mendukung program yang bersifat karitatif.
Generasi pertama, bantuan yang diberikan lebih kepada penanganan kelaparan akibat banjir, akibat perang, dipengungsian dan bencana alam lainnya, seperti: distribusi pangan, penyediaan tempat penampungan dan pengiriman tim kesehatan. Sedangkan generasi kedua, yang muncul pada tahun 1970-an menurut Korten, merupakan reaksi atas keterbatasan pendekatan bantuan dan kesejahteraan sebagai strategi pembangunan. Pada generasi kedua ini LSM mulai melakukan pengembangan masyarakat dengan penekanan pada swadaya local, seperti: memperbaiki cara-cara bertani, memperbaiki infrastruktur local, pelayanan kesehatan yang bersifat pencegahan, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah, namun difokuskan pada wilayah-wilayah yang tidak terjangkau atau tidak memadainya layanan pemerintah. Pada generasi ketiga LSM sudah mengembangkan alternatif-alternatif baru yang berbeda dengan pemerintah, namun mendukung modernisasi dan developmentalis yang merupakan idiologi kapitalis yang selama ini dianut oleh pemerintah. Artinya pada era orde baru LSM juga menggunakan paradigma developmentalis, walaupun LSM mengerjakan apa yang tidak dikerjakan oleh pemerintah, tetapi berada pada pola pemerintah.
Setelah selama sekitar dua dasawarsa (1970-an – 1980-an) LSM bekerja tidak terjadi perubahan yang berarti pada masyarakat, baru menyadari bahwa pendekatan developmentalis bukan suatu solusi melainkan bagian dari masalah itu sendiri, sebab pendekatan tersebut malah menciptakan ketergantungan. Dan setelah dikaji lebih dalam pendekatan developmentalis dan modernisasi adalah bungkus baru dari kue lama kapotalisme. Kemudian pada awal dasawarsa 1990-an, para aktivis LSM mulai melakukan refleksi kritis terhadap peran, misi dan visi gerakannya. Para aktivis LSM saling mempertanyakan kompetensi methodologis dan tehnis antar aktivis LSM dalam memfasilitasi proses perubahan di Indonesia. Dalam berbagai pertemuan LSM, selalu dilakukan outokritik, bahkan terjadi konflik antar aktivis LSM yang mendukung perlunya pembangunan untuk menolong rakyat miskin dengan aktivis LSM yang mulai ingin memperjelas perspektif idiologis, paradigma dan landasan teoritis aktivis LSM tentang perubahan sosial.
Kemudian dalam pertemuan LSM di Cisarua pada bulan Juli 1992, direkomendasikan perlunya studi tentang posisi dan peran masa depan gerakan LSM di Indonesia. Pertanyaan utama dari studi tersebut adalah Bagaimana Peran LSM dalam transformasi sosial di Indonensia ? Dari hasil studi yang menggunakan pendekatan partisipatif dan dialogis, bertujuan untuk :
·      Penemuan masalah, dengan memahami visi, idiologi dan paradigma aktivis LSM tentang perubahan sosial, dan Bagaimana menterjemahkannya dalam kegiatan lapangan,
·      Secara kolaboratif mengembangkan paradigma dan penerjemahannya kedalam rencana aksi.
Dengan studi reflektif tersebut diharapkan para aktivis dapat membangun paradigma dan perspektif LSM tentang perubahan sosial. Dan berdasarkan paradigma tersebut, para aktivis LSM akan menemukan suatu cara untuk mewujudkannya dalam kegiatan lapangan.
Dari proses refleksi yang terus menerus antara kelompok inti peneliti, aktivis LSM yang terlibat secara langsung dan aktivis LSM yang tidak terlibat namun mendapatkan informamsi proses dan hasil penelitian ini, maka secara bertahap terjadi perubahan perspektif maupun pendekatan dalam pengorganisasian masyarakat di Indonesia.
Dari hasil penelitian diketahui posisi politis dan ideologis aktivis tentang perubahan sosial. Posisi politis aktivis LSM Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga tipologi, yaitu: Konformisme, reformis dan transformatif. Tipe konformis adalah aktivis LSM yang melakukan pekerjaan dengan didasarkan pada paradigma karitatif, dengan motivasi menolong rakyat yang didasarkan pada niat baik untuk membantu yang membutuhkan. Tipe reformis adalah pemikiran yang didasarkan pada ideology developmentalisme dan modernisasi, masyarakat miskin karena mereka tidak berpendidikan dan tidak memiliki modal. Karena itu kemudian LSM menfasilitasi melalui pelatihan-pelatihan dan memberi bantuan modal untuk berusaha. Sedangkan tipe selanjutnya sebagai alternatif dari dua tipe sebelumnya adalah transformatif, yaitu berusaha mengubah struktur dan superstruktur yang menindas rakyat dan membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaannya. Paradigma alternatif ini harus mendorong kearah terciptanya superstruktur dan struktur yang memungkinkan bagi rakyat untuk mengontrol cara produksi dan mengontrol produksi informamsi dan ideology mereka sendiri. Mereka mencari struktur dan superstruktur yang memungkinkan bagi rakyat untuk mengontrol perubahan sosial dan menciptakan sejarah mereka sendiri, struktur yang memungkinkan bagi masyarakat menuju jalan demokratis dalam perubahan sosial, ekonomi dan politik.
Namun pada awal dasawarsa 1990-an sangat sedikit aktivis LSM yang benar-benar dapat digolongkan memiliki perspektif transformatif. LPKP Jawa Timur yang dirintis pada tahun 1988 pada awalnya juga menganut ideology modernisasi dan developmentalisme dengan paradigma reformis, bahkan sampai sekarangpun LPKP belum bebas dari ideoligi ini. Hal ini tergambar dari program-program yang dikembangkan, seperti: Pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak keluarga miskin di Kecamatan Singosari Kab Malang, Program Beasiswa alternatif untuk anak-anak keluarga miskin, Pengembangan Model Pendidikan Non Formal bagi pekerja anak di sector pertanian dan indutri di Kabupaten Malang, Peningkatan pendapatan masyarakat melalui Pengelolaan lahan kritis di Kecamatan Pagak Kab. Malang, Program peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur perkotaan di Kodya Pasuruan dan lain-lain.
Pada akhir dasawarsa 1990-an, tepatnya pada tahun 1998, beberapa aktivis LPKP mengalami perubahan paradigma setelah melaksanakan Lokalatih Analisis Sosial dan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat. Dalam kegiatan tersebut peserta diajak untuk melakukan analisis kritis mengoreksi seluruh kegiatan pendampingan yang telah dilakukan bersama masyarakat. Kemudian diajak memahami realitas sosial, analisis sosial dan perubahan sosial dengan memaparkan berbagai teori dan paradigma perubahan sosial. Dari proses interaksi antara fasilitator dengan peserta dan antar peserta pada awalnya terjadi konflik-konflik karena perbedaan cara pandang tersebut. Namun kemudian semua peserta menyadari bahwa mereka belum pernah secara formal berbicara tentang ideology dan visi mereka dan mereka tidak memiliki alat analisis yang jelas untuk memahami masalah.

C. Pengaruh atau Dampak Perubahan Sosial Budaya Terhadap Perilaku Masyarakat
Setiap perubahan sosial budaya dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap perilaku anggota masyarakat. Kalau perubahan tersebut baik, maka pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat juga baik dan sebaliknya. Perubahan sosial budaya, ini seringkali mengganggu proses pembentukan masyarakat yang harmonis dan serasi. Keadaan masyarakat yang serasi atau harmohis sangat didambakan oleh setiap anggota masyarakat, sebab dalam masyarakat yang demikian .mernbuat hidup nyaman dan tenteram. Dalam masyarakat yang serasi atau harmoni, lemba-lembaga masyarakat benar-benar dapat berfungsi secara maksimal dan saling mengisi. Dalam keadaan seperti itu, setiap anggota masyarakat akan merasakan ketenteraman, kedamaian, kerukunan, dan sebagainya.
Namun, keadaan masyarakat yang harmonis dan serasi seringkali tidak atau jarang terwujud. Kenyataanya dalam masyarakat selalu ada anggota nasyarakat yang perilakunya kadang menyimpang dari aturan yang ada, seperti kelompok pemabuk,pertengkaran dan sebagainya. Hal itu terjadi karena akibat pengaruh perubahan sosial budaya dalam masyarakat tersebut.
Pengaruh perubahan sosial budaya terhadap perilaku masyarakat sangat erat hubungannya dengan fungsi nilai sosial dan kebudayaan dalam masyarakat. Beberapa fungsi atau peranan nilai sosial dalam masyarakat antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai sistem kesatuan makna
Sistem kesatuan makna artinya satuan kebiasaan atau budaya yang membedakan dengan budaya daerah atau Negara lainFungsi atau peranan nilai social membentuk system kesatuan makna tersebut yang membedakan dengan bangsa lain. Contoh, orang Indonesia apabila makan atau minum sambil duduk di kursi atau di lantai. beralaskan tikar. Sedang orang-orang Amerika kebiasaan makan dan minum sambil berdiri bahkan berjalan-jalan merupakan hal yang biasa. Hal ini terjadi sebab makna budaya orang Indonesia berbeda dengan makna budaya orang Amerika. Orang Indonesia masih sangat menjunjung sopan santun yang tinggi, sedang orang. Amerika rasa sopan santun sudah ditinggalkan. Cara pandang orang Amerika lebih mengutamakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keahlian daripada nilai-nilai kesopanan seperti orang Indonesia.
2. Mengemban Tugas Pendidikan
Nilai sosial budaya juga berfungsi sebagai pengemban tugas pendidikan, artinya melahirkan anggota-anggota masyarakat baru dalam menghayati pola kehidupan bersama dalam masyarakat. Secara nyata tugas penddikan atau mendidik ini diserahkan pada tiga lembaga atau instansi, yaitu: keluarga, sekolah, dan masyarakat itu sendiri. Dasar-dasar pendidikan yang diajarkan kepada warga masyarakat melalui tiga lembaga pendidikan adalah nilai-nilai sosial, seperti: kesopanan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan, moralitas dan sebagainya.
4.  Membentuk Manusia yang Beradab
NiIai sosial budaya yang berperan dalam pembentukan sikap hidup beradab seperti nilaiai kesopanan, kerendahan hati dan nilai-nilai sosial lain yang menjunjung tinggi moral dan budaya sebagai pedoman masyarakat dalam bertingkah laku. Kesimpulannya, fungsi nilai dan budaya akan membentuk manusia beradab, yaitu terwujudnya manusia yang sopan santun, bermoral baik, berpengetahuan tinggi, dan sebagainya. Jika nilai yang baik berubah menjadi nilai-nilai yang tidak baik, akibatnya akan mempengaruhi perilaku tidak baik pula bagi anggota masyarakat. Dengan demikian, maka fungsi nilai sosial budaya membentuk manusia yang beradab tidak akan terwujud.
5. Sebagai Pola Dasar Kehidupan Bersama
Fungsi nilai sosial dan budaya adalah membentuk pola dasar kehidupan bersama maksudnya membentuk atau meletakkan pola-pola dasar umum dalam suatu masyarakat. Berdasarkan fungsi nilai sosial dan kebudayaan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai social dan kebudayaan berfungsi sebagai haluan atau pedoman berperilaku bagi masyarakat.Jika nilai sosial dan kebudayaan tersebut mengalami perubahan, otomatis akan memengaruhi perubahan atau disintegrasi. Bentuk disintegrasi akibat perubahan perilaku masyarakat dapat kalian simak dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pelakunya, ketidakserasian social (disintegrasi) dikelompokkan menjadi tig, yaitu sebagai berikut:
1.    Disintegrasi masyarakat, yaitu ketidakserasian yang terjadi dalam sebuah masyarakat, contoh: kemiskinan, pengangguran, korupsi dan sebagainya.
2.    Disintegrasi keluarga, yaitu ketidakserasian yang terjadi dalam sebuah keluarga, contohnya: perceraian, pertengkaran keluarga, kelahiran tidak dikehendaki, dll.
3.    Disintegrasi perorangan, yaitu ketidakserasian pada diri seseorang, contoh: kenakalan remaja, sakit ingatan, pelacuran, mabuk-mabukan dll.

Jenis atau macam ketidakserasian  atau disintegrasi yang lain, yaitu berdasarkan bentuknya. Berdasarkan bentuknya proses disintegrasi (ketidakserasian social) dikelomokkan menjadi:
1. Anomie
Anomie adalah keadaan dalam masyarakat yang tidak ada pegangan terhadap tindakan mana mana yang baik dan mana yang tidak baik. Keadaan ini terjadi karena norma atau nilai lama sudah memudar sedangkan nilai nilai-nilai baru tebentuk.
2.  Mestizo Culture
Mestizo adalah campuran unsur-unsur kebudayaan yang memiliki warna dan sifat yang berbeda. Ciri proses mestizo ini adalah sifatnya normalis, artinya hanya meniru bentuk luarnya saja tanpa mengerti arti sesungguhnya.
3.  Cultural Lag
Cultural Lag adalah ketertinggalan budaya yang disebabkan oleh unsur-unsur budaya dalam masyarakat yang pertumbuhannnya tidak sama. Satu budaya bertumbuh dengan pesat namun unsure budaya lainnya pertumbuhaannya sangat lambat, maka terjadilah cultural lag.

D. Dampak Perubahan Sosial Terhadap Kehidupan Masyarakat Akibat Modernisasi
a. Pengertian Modernisasi
Modernisasi sering disamakan dengan westernisasi. Modernisasi berasal dari kata dasar modern. Adapun modern sendiri bersasal dari kata modernus (latin) yang terdiri dari dua kata yaitu modo yang berarti cara dan emus yang mengacu pada adanya periode waktu masa kini, sehingga modernisasi bisa diartikan sebagai proses menuju masa kini atau proses menuju masyarakat modern.
Ada beberapa para ahli yang berpendapat tentang modernisasi, yaitu:
a.  Koentjaraningrat
b.  Soerjono Soekanto
c.  Astrid S. Susanto
d.  Abdul Sani
e.  Ogburn dan Nimkoff
f.   Lovis Irving Horowitz
g.  J.W Schoorl
h.  Wibert E. More
i.   Harold Resenburg
Sebagaimana pendapat mereka, modernisasi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.  Proses perubahan social dari system yang bersifat tradisional menjadi lebih maju ditandai dengan adanya perubahan di segala bidang, seperti penggantian tenaga manusia menjadi tenaga mesin.
2.  Perubahan teknologi dari dari yang sederhana (yang tardisional) kearah teknologi canggih.
b.  Gejala Modernisasi
1.  Bidang IPTEK
Adanya ilmu pengetahuan dapat mengubah aspek-aspek social dan kebudayaan. Apabila proses perubahan tersebut berjalan terencana dan terarah maka dapat tercapai modernisasi. Dan modernisasi juga dapat berlangsung jika ada teknologi, yang mana hal tersebut dapat terwujud melalui adanya uji coba (trial dan error).
2.  Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya
Pada zaman dahulu, system perekonomian masyarakat sangat sederhana, yaitu dimulai dari masa berburu dan masa meramu. Dalam bidang social, modernisasi ditandai dengan semakin banyaknya kelompok sosial baru dalam masuarakat, yaitu kelompok buruh, kelompok manajer, kelompok ekonomi kelas menengah dan atas, kaum intelektual, dll.
Sedangkan gejala modernisasi dibidang budaya ditandai dengan semakin lunturnya budaya tradisional yang disebabkan oleh pengaruh masuknya budaya luar (barat).
4.      Bidang Politik
Jaman dahulu ketika manusia belum mengenal ilmu pengetahuan dan kebudayaan masih primitive, kata politik belum dikenal walau pada dasarnya mereka sudah menjalankan suatu pembuatan politis, hanay saja mereka tidak menyadarinya. Dan pada saat itu juga aktivitas politik dilakukan dengan cara yang alamiah atau bahkan masih menggunakan aturan main hokum rimba.
c.  Syarat Modernisasi
Syarat-syarat modernisasi menurut Soerjono Soekanto bisa disimpulkan modernisasi dapat berjalan lancer maka perlu adanya dukungan kebudayaan masyarakat.
d.  Perkembangan Modernisasi
Tahapan perkembangan masyarakat menuju modernisasi menurut WW. Rostow:
1.  Tahap masyarakat tradisional (the traditional society)
2.  Tahap prakondisi (the precondition for take off)
3.  Tahap lepas landas (take off)
4.  Tahap gerak menuju kematangan ((the drive for maturenty)
5.  tahap konsumsi massa tinggi (the age of high mass consumption)
e.  Dampak perubahan sosial akibat modernisasi
Semua perubahan social akibat modernisasi akan menimbulkan dampak positif dan negative kepada masyarakat bersangkutan. Dampak tersebut adalah:
1.  Konsumerisme dan etos kerja manusia modern di Indonesia
Konsumerisme paham atau aliran dimana seseorang atau kelompok melakukan pemakaian hasil produksi secara berlebihan secara sadar dan berkelanjutanbudaya konsumerisme tidak selalu berdampak negative karena konsumerisme juga berarti memperluas pasar sebab orang-orang akan semakin senang membeli barang-barang.
2.  Kesenjangan social ekonomi
Ini adalah salah satu dampak dar modernisasi dan pembangunan yang sangat membahayakan kehidupan bangsa sehingga akan mengancam stabilitas nasional.
3.  Pencemaran lingkungan alam
Adanya ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, manusia bisa menciptakan alat dan mesin untuk membantu kelangsungan hidup mereka.

4.  Kriminalitas
Adalah suatu tindakan kejahatan yang bertindak tegas. Gejala kriminalitas lain yang akhir-akhir ini berkembang dari masyarakat adalah white collar crime atau biasa disebut kejahatan kerah putih.
5.  Kenakalan remaja
Masa remaja menjadi masa yang berbahaya yang dikenal dengan istilah masa badai dan tekanan (storm and stress), karena pada masa itu seseorang harus meninggalkan kehidupan kanak-kanak menuju tahap kedewasaan.

E. Dampak Perubahan Sosial Terhadap Kehidupan Masyarakat Akibat Globalisasi
Globalisasi membawa pengaruh luar masuk ke Indonesia secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia yaitu dibidang ekonomi, social dan budaya.
Masyarakat yang siap atau tidak dalam menghadapi perubahan akibat arus globalisasi dapat terjadi karena sifat masyarakat itu sendiri (dinamis atau statis/tradisional), atau karena factor pengubahnya (pengaruh) berupa nilai-nilai yang benar-benar baru.
Dampak positif perubahan social akibat globalisasi yaitu kemudahan untuk mengakses informasi di belahan internasional. Dampak negatifnya yaitu munculnya budaya hedonis (pola hidup menuju kesenangan).






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Perjalan kehidupan berbangsa dan bertanah air Indonesia semakin hari terus mengalami perubahan ke arah yang semakin baik. Masyarakat yang adil dan sejahteraan adalah cita-cita mulai bangsa Indonesia. Dalam konteks kekinian, perbaik kehidupan sosial, ekonomi dan politik terus digalakan. Harapan besar ditujukan kepada para pemimpin untuk terus mewujudkan cita-cita. Kepada presiden SBY mandat rakyat diberikan untuk terus melakukan perubahan kehidupan berbangsa yang lebih baik.
Integrasi dan kedaulatan bernegara adalah tugas utama untuk terus menjaga keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Negara harus terus menjamin keamanan dan perdamaian rakyatnya dari agresi-agresi separatis, teroris dan batas negara yang mengancam keutuhanan dan kedaulatan. Harmoni dan toleransi beragma perlu ditingkatkan sehinga tidak terjadi konflik horizontal.
Hukum dan keadilan sosial perlu ditingkatkan. Mafia peradilan dan praktek korupsi yang masih berakar harus dicabut dan ditindak secara adil. Praktek koruptif dan destruktif yang masih tersisa seperti Bank Century, “markus”, mafia perpajakan, dll harus segera diproses. Penanganan yang molor memberi kesan ketidaktegasan pemerintah terhadap tindakan pemberantasaan korupsi. Selain itu, penegakan HAM harus terus ditingkatkan.
Demikian juga dengan kehidupan berpolitik dan demokrasi tanah air. Penguatan konstitualisme, partisipasi politik rakyat dan civil society harus tetap dipertingkatkan juga. Kebebasan pers pun harus tetap dipertahankan. Kontrol terhadap kebebasan pers adalah pemunduran demokrasi. praktek legislasi yang buruk perlu perlu diperbaiki.
Kesejahteraan dan ekonomi masyarakat menjadi tugas penting untuk meningkatkan kehidupan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Peran BI (bank Indonesia) berperan penting dalam menjaga kestabilan makroekonomi. Kebijakan moneter harus bisa menjaga dan menekan inflasi dan nilai rukar rupiah. Selain itu pemerintah harus menjamin peningkatan investasi dan ekspor dalam rangkat menaikan prosentase pertumbuhan ekonomi nasional. Perbaikan layanan publik, kualitas pendidikan dan kebijakan subsidi yang tepat sangat membantu mengurangi tingkat kemiskinan dalam masyarakat. Pemerintah pun harus tetap konsisten dengan program pembukaan lapangan kerja yang sebanyak-banyak dan mendorong dunia usaha untuk pengurangi tingkat pengangguran.






DAFTAR PUSTAKA

·      LKS Sosiologi Kelas XII hal. 19-29
·      LKS Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu Kelas IX hal. 79-80


1 komentar:

Silahkan berkomentar asalkan dengan bahasa yang sopan..ok??