Minggu, 03 Februari 2013

Makalah Kenakalan Remaja



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Masa  remaja  merupakan  masa  dimana  seorang  individu  mengalami peralihan  dari  satu  tahap  ke  tahap  berikutnya  dan  mengalami  perubahan  baik emosi,  tubuh,  minat,  pola  perilaku,  dan  juga  penuh  dengan  masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial,  yakni  masalah  psikis  atau  kejiwaan  yang  timbul  sebagai  akibat terjadinya perubahan sosial (TP-KJM, 2002). 
Masa  remaja merupakan  sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya  seringkali  tidak  terlalu  jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai  tanda awal keremajaan  ternyata  tidak  lagi valid sebagai patokan  atau  batasan  untuk  pengkategorian  remaja  sebab  usia  pubertas  yang dahulu  terjadi  pada  akhir  usia  belasan  (15-18)  kini  terjadi  pada  awal  belasan bahkan  sebelum  usia  11  tahun.   Seorang  anak  berusia  10  tahun  mungkin  saja sudah  (atau  sedang)  mengalami  pubertas  namun  tidak  berarti  ia  sudah  bisa dikatakan  sebagai  remaja  dan  sudah  siap  menghadapi  dunia  orang  dewasa.  Ia belum  siap menghadapi  dunia  nyata  orang  dewasa, meski  di  saat  yang  sama  ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas  dapat  diukur,  remaja  hampir  tidak  memiliki  pola  perkembangan  yang pasti. Dalam  perkembangannya  seringkali  mereka  menjadi  bingung  karena kadang-kadang  diperlakukan  sebagai  anak-anak  tetapi  di  lain  waktu  mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.
Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun  seringkali  perubahan  itu  hanya  merupakan  suatu  tanda-tanda  fisik  dan bukan  sebagai  pengesahan  akan  keremajaan  seseorang.   Namun  satu  hal  yang pasti,  konflik  yang  dihadapi  oleh  remaja  semakin  kompleks  seiring  dengan perubahan  pada  berbagai  dimensi  kehidupan  dalam  diri  mereka.  Untuk  dapat memahami  remaja,  maka  perlu  dilihat  berdasarkan  perubahan  pada  dimensi-dimensi tersebut.

B.   Rumusan Masalah
Bagaimana dimensi-dimensi pertumbuhan remaja? Dan seperti apa masalah  psikososial  yang  sering  terjadi  pada  remaja. Serta bagaimana cara untuk mengetahui cara untuk mengatasi masalah-masalah yang menyebabkan kenakalan pada remaja tersebut.

C.   Tujuan Masalah
Untuk mengetahui macam-macam masalah  psikososial  yang  sering  terjadi  pada  remaja dan mengetahui cara untuk mengatasi masalah kenakalan remaaja.





BAB II
PEMBAHASAN

A.   Dimensi-Dimensi Remaja
a.    Dimensi Biologis
Pada  saat  seorang  anak  memasuki  masa  pubertas  yang  ditandai  dengan menstruasi  pertama  pada  remaja  putri  atau  pun  perubahan  suara  pada  remaja putra,  secara  biologis  dia  mengalami  perubahan  yang  sangat  besar.   Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi. Pada masa pubertas, hormon  seseorang menjadi  aktif  dalam memproduksi dua  jenis  hormon  (gonadotrophins  atau  gonadotrophic  hormones)  yang berhubungan  dengan  pertumbuhan,  yaitu: 1)  Follicle-Stimulating  Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH).  Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan  estrogen dan progesterone: dua  jenis hormon kewanitaan.   Pada  anak  lelaki,  Luteinizing  Hormone  yang  juga  dinamakan Interstitial-Cell  Stimulating  Hormone  (ICSH)  merangsang  pertumbuhan testosterone.  
 Pertumbuhan  secara  cepat  dari  hormon-hormon  tersebut  di  atas merubah sistem  biologis  seorang  anak.  Anak  perempuan  akan  mendapat  menstruasi, sebagai pertanda bahwa  sistem  reproduksinya  sudah  aktif. Selain  itu  terjadi  juga perubahan  fisik  seperti  payudara  mulai  berkembang,  dll.   Anak  lelaki  mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan  tumbuhnya  hormon  testosterone.    Bentuk  fisik  mereka  akan  berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja. 
  
b.   Dimensi Kognitif
Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan  kognitif)  merupakan  periode  terakhir  dan  tertinggi  dalam  tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations).    Pada  periode  ini,  idealnya  para  remaja  sudah memiliki  pola  pikir  sendiri dalam  usaha  memecahkan  masalah-masalah  yang  kompleks  dan  abstrak. 
Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan  mudah  dapat  membayangkan  banyak  alternatif  pemecahan  masalah beserta  kemungkinan  akibat  atau  hasilnya.   Kapasitas  berpikir  secara  logis  dan abstrak  mereka  berkembang  sehingga  mereka  mampu  berpikir  multi-dimensi seperti  ilmuwan.   Para  remaja  tidak  lagi menerima  informasi  apa  adanya,  tetapi mereka  akan  memproses  informasi  itu  serta  mengadaptasikannya  dengan pemikiran  mereka  sendiri.  Mereka  juga  mampu  mengintegrasikan  pengalaman masa  lalu dan  sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana  untuk  masa  depan.  Dengan  kemampuan  operasional  formal  ini,  para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.  
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang  (termasuk  Indonesia) masih sangat  banyak  remaja  (bahkan  orang  dewasa)  yang  belum  mampu  sepenuhnya mencapai  tahap  perkembangan  kognitif  operasional  formal  ini. Sebagian  masih tertinggal  pada  tahap  perkembangan  sebelumnya,  yaitu  operasional  konkrit, dimana  pola  pikir  yang  digunakan  masih  sangat  sederhana  dan  belum mampu melihat  masalah  dari  berbagai  dimensi.  Hal  ini  bisa  saja  diakibatkan  sistem pendidikan  di  Indonesia  yang  tidak  banyak  menggunakan  metode  belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir  anak.  penyebab  lainnya  bisa  juga  diakibatkan  oleh  pola  asuh  orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki  keleluasan  dalam memenuhi  tugas  perkembangan  sesuai  dengan usia  dan mentalnya.  Semestinya,  seorang  remaja  sudah  harus mampu mencapai tahap  pemikiran  abstrak  supaya  saat  mereka   lulus  sekolah  menengah,  sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.

c.    Dimensi Moral
Masa  remaja  adalah  periode  dimana  seseorang  mulai  bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang  terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi  pembentukan  nilai  diri mereka.    Elliot  Turiel  (1978) menyatakan  bahwa para  remaja  mulai  membuat  penilaian  tersendiri  dalam  menghadapi  masalah-masalah  populer  yang  berkenaan  dengan  lingkungan mereka, misalnya:  politik, kemanusiaan,  perang,  keadaan  sosial,  dsb.   Remaja  tidak  lagi  menerima  hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini  tanpa  bantahan.   Remaja mulai mempertanyakan  keabsahan  pemikiran  yang ada  dan mempertimbangan  lebih  banyak  alternatif  lainnya. Secara  kritis,  remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal  yang  selama  ini  diajarkan  dan  ditanamkan  kepadanya.   Sebagian  besar para  remaja mulai melihat  adanya  “kenyataan”  lain di  luar dari yang  selama  ini diketahui  dan  dipercayainya.   Ia  akan  melihat  bahwa  ada  banyak  aspek  dalam melihat  hidup  dan  beragam  jenis  pemikiran  yang  lain.   Baginya  dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral  (moral  reasoning) pada  remaja berkembang  karena  mereka  mulai  melihat  adanya  kejanggalan  dan ketidakseimbangan  antara  yang mereka  percayai dahulu  dengan  kenyataan  yang ada di sekitarnya.  Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola  pikir  dengan  “kenyataan”  yang  baru.    Perubahan  inilah  yang  seringkali mendasari  sikap  "pemberontakan"  remaja  terhadap  peraturan  atau  otoritas  yang selama  ini  diterima  bulat-bulat.  Misalnya,  jika  sejak  kecil  pada  seorang  anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.   
Pada masa  remaja  ia  akan mempertanyakan mengapa  dunia  sekelilingnya membiarkan korupsi  itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi  itu dinilai baik dalam  suatu kondisi  tertentu.  Hal  ini  tentu  saja  akan menimbulkan konflik nilai  bagi  sang  remaja.  Konflik  nilai  dalam  diri  remaja  ini  lambat  laun  akan menjadi  sebuah  masalah  besar,  jika  remaja  tidak  menemukan  jalan keluarnya.  Kemungkinan  remaja  untuk  tidak  lagi mempercayai  nilai-nilai  yang ditanamkan  oleh  orangtua  atau  pendidik  sejak  masa  kanak-kanak   akan  sangat besar  jika  orangtua  atau  pendidik  tidak  mampu  memberikan  penjelasan  yang logis,  apalagi  jika  lingkungan  sekitarnya  tidak mendukung  penerapan  nilai-nilai tersebut.
Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban  dari  hal-hal  yang  dipertanyakan  oleh  putra-putri  remajanya.  Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu  bisa  berpikir  lebih  jauh  dan  memilih  yang  terbaik.   Orangtua  yang  tidak mampu memberikan  penjelasan  dengan  bijak  dan  bersikap  kaku  akan membuat sang  remaja  tambah  bingung.   Remaja  tersebut  akan  mencari  jawaban  di  luar lingkaran  orangtua  dan  nilai  yang  dianutnya.   Ini  bisa menjadi  berbahaya  jika  “lingkungan  baru”   memberi  jawaban  yang  tidak  diinginkan  atau  bertentangan dengan  yang  diberikan   oleh  orangtua.  Konflik  dengan  orangtua mungkin  akan mulai menajam.

d.   Dimensi Psikologis
Masa  remaja merupakan masa  yang   penuh  gejolak.  Pada masa  ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh  Mihalyi Csikszentmihalyi  dan  Reed  Larson  (1984)  menemukan  bahwa  remaja rata-rata  memerlukan  hanya  45  menit  untuk  berubah  dari  mood  “senang  luar biasa” ke  “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama.  Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan  rumah, pekerjaan  sekolah,  atau kegiatan sehari-hari  di  rumah. Meski  mood  remaja  yang  mudah  berubah-ubah  dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Dalam hal kesadaran diri, pada  masa  remaja para  remaja mengalami perubahan yang  dramatis  dalam  kesadaran  diri  mereka  (self-awareness).   Mereka  sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik  diri  mereka  sendiri.   Anggapan  itu  membuat  remaja  sangat memperhatikan  diri  mereka  dan  citra  yang  direfleksikan  (self-image).  Remaja cenderung  untuk  menganggap  diri  mereka  sangat  unik  dan  bahkan  percaya keunikan mereka  akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik dan  tertarik  pada  kecantikannya,  sedang  remaja  putra  akan  membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan “hebat”. 
Pada  usia  16  tahun  ke  atas,  keeksentrikan   remaja  akan  berkurang  dengan sendirinya  jika  ia  sering dihadapkan dengan dunia nyata.  Pada  saat  itu, Remaja akan mulai  sadar  bahwa  orang  lain  tenyata memiliki  dunia  tersendiri  dan  tidak selalu  sama  dengan  yang  dihadapi  atau  pun  dipikirkannya.  Anggapan  remaja bahwa  mereka  selalu  diperhatikan  oleh  orang  lain  kemudian  menjadi  tidak berdasar.   Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
Para  remaja  juga  sering menganggap  diri mereka  serba mampu,  sehingga seringkali  mereka  terlihat  “tidak  memikirkan  akibat”  dari  perbuatan  mereka.  Tindakan  impulsif  sering  dilakukan;  sebagian  karena  mereka  tidak  sadar  dan belum  biasa memperhitungkan  akibat  jangka  pendek  atau  jangka  panjang.  Remaja  yang  diberi  kesempatan  untuk  mempertangung-jawabkan  perbuatan mereka,  akan  tumbuh  menjadi  orang  dewasa  yang  lebih  berhati-hati,  lebih percaya-diri,  dan  mampu  bertanggung-jawab.   Rasa  percaya  diri  dan  rasa tanggung-jawab  inilah  yang  sangat  dibutuhkan  sebagai  dasar  pembentukan  jati-diri positif pada remaja.  Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri dan  rasa hormat pada orang  lain dan  lingkungan.  Bimbingan orang yang lebih  tua  sangat  dibutuhkan  oleh  remaja  sebagai  acuan  bagaimana menghadapi masalah  itu  sebagai  “seseorang  yang  baru”;  berbagai  nasihat  dan  berbagai  cara akan  dicari  untuk  dicobanya.   Remaja  akan  membayangkan  apa  yang  akan dilakukan  oleh  para  “idola”nya  untuk  menyelesaikan  masalah  seperti  itu.  Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja 

B.   Remaja dan Rokok
Di masa modern  ini, merokok merupakan  suatu pemandangan yang  sangat tidak asing. Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi  si perokok, namun dilain pihak dapat menimbulkan dampak buruk bagi  si perokok sendiri maupun orang – orang disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam rokok memberikan dampak negatif  bagi tubuh penghisapnya.
Beberapa motivasi yang melatarbelakangi seseorang merokok adalah untuk mendapat  pengakuan  (anticipatory  beliefs),  untuk menghilangkan  kekecewaan  (reliefing beliefs), dan menganggap perbuatannya  tersebut tidak melanggar norma ( permissive beliefs/ fasilitative) (Joewana, 2004). Hal ini sejalan dengan kegiatan merokok yang dilakukan oleh remaja yang biasanya dilakukan didepan orang lain, terutama dilakukan di depan kelompoknya karena mereka sangat  tertarik kepada kelompok sebayanyaatau dengan kata lain terikat dengan kelompoknya.
   
Penyebab Remaja Merokok
1. Pengaruh 0rangtua 
Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak-anak muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras lebih mudah untuk menjadi perokok dibanding anak-anak muda yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia (Baer & Corado dalam Atkinson, Pengantar psikologi, 1999:294). 
2. Pengaruh teman.   
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin  besar  kemungkinan  teman-temannya  adalah  perokok  juga  dan demikian  sebaliknya. Dari  fakta  tersebut  ada  dua  kemungkinan  yang  terjadi, pertama  remaja  tadi  terpengaruh  oleh  teman-temannya  atau  bahkan  teman-teman  remaja  tersebut  dipengaruhi  oleh  diri  remaja  tersebut  yang  akhirnya mereka  semua  menjadi  perokok.  Diantara  remaja  perokok  terdapat  87% mempunyai  sekurang-kurangnya  satu  atau  lebih  sahabat  yang  perokok  begitu pula dengan remaja non perokok (Al Bachri, 1991) 
3. Faktor Kepribadian.        
Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari  rasa  sakit  fisik atau  jiwa, membebaskan diri dari kebosanan. Namun satu  sifat  kepribadian  yang  bersifat  prediktif  pada  pengguna  obat-obatan (termasuk  rokok)  ialah  konformitas  sosial. Orang  yang memiliki  skor  tinggi pada  berbagai  tes  konformitas  sosial  lebih  mudah  menjadi  pengguna dibandingkan  dengan  mereka  yang  memiliki  skor  yang  rendah  (Atkinson, 1999). 
4. Pengaruh Iklan. 
Melihat  iklan  di  media  massa  dan  elektronik  yang  menampilkan  gambaran bahwa  perokok  adalah  lambang  kejantanan  atau  glamour, membuat    remaja seringkali  terpicu  untuk  mengikuti  perilaku  seperti  yang  ada  dalam  iklan tersebut. (Mari Juniarti, Buletin RSKO, tahun IX,1991).  

C.   Penyimpangan Seks pada Remaja  
Kita  telah  ketahui  bahwa  kebebasan  bergaul  remaja  sangatlah  diperlukan agar mereka tidak "kuper" dan "jomblo" yang biasanya jadi anak mama. "Banyak teman maka banyak pengetahuan". Namun tidak semua teman kita sejalan dengan apa  yang  kita  inginkan.  Mungkin  mereka  suka  hura-hura,  suka  dengan  yang berbau  pornografi,  dan  tentu  saja  ada  yang  bersikap  terpuji  benar  agar  kita  tidak  terjerumus  ke  pergaulan  bebas  yang  menyesatkan. 
         Masa  remaja merupakan  suatu masa  yang menjadi  bagian  dari  kehidupan manusia yang di dalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini akan sangat berpengaruh  terhadap pembentukan diri  remaja  itu sendiri. Masa remaja  dapat  dicirikan  dengan  banyaknya  rasa  ingin  tahu  pada  diri  seseorang dalam  berbagai  hal,  tidak  terkecuali  bidang  seks. 
         Seiring  dengan  bertambahnya  usia  seseorang,  organ  reproduksipun mengalami  perkembangan  dan  pada  akhirnya  akan  mengalami  kematangan. Kematangan  organ  reproduksi  dan  perkembangan  psikologis  remaja  yang mulai menyukai lawan jenisnya serta arus media informasi baik elektronik maupun non elektronik  akan  sangat  berpengaruh  terhadap  perilaku  seksual  individu  remaja tersebut. Salah  satu  masalah  yang  sering  timbul  pada  remaja  terkait  dengan  masa awal kematangan organ  reproduksi pada  remaja adalah masalah kehamilan yang terjadi pada remaja diluar pernikahan. Apalagi apabila Kehamilan tersebut terjadi pada  usia  sekolah.  Siswi  yang  mengalami  kehamilan  biasanya  mendapatkan respon  dari  dua  pihak.  Pertama  yaitu  dari  pihak  sekolah,  biasanya  jika  terjadi kehamilan  pada  siswi,  maka  yang  sampai  saat  ini  terjadi  adalah  sekolah meresponya  dengan  sangat  buruk  dan  berujung  dengan  dikeluarkannya  siswi tersebut dari sekolah. Kedua yaitu dari lingkungan di mana siswi tersebut tinggal, lingkungan  akan  cenderung  mencemooh  dan  mengucilkan  siswi  tersebut.  Hal tersebut terjadi jika karena masih kuatnya nilai norma kehidupan masyarakat kita.
Kehamilan remaja adalah  isu yang saat  ini mendapat perhatian pemerintah.  Karena  masalah  kehamilan  remaja  tidak  hanya  membebani  remaja  sebagai individu  dan  bayi mereka  namun  juga mempengaruhi  secara  luas  pada  seluruh strata di masyarakat dan  juga membebani sumber-sumber kesejahteraan. Namun, alasan-alasannya  tidak  sepenuhnya  dimengerti.    Beberapa  sebab  kehamilan termasuk  rendahnya pengetahuan  tentang keluarga berencana, perbedaan budaya yang  menempatkan  harga  diri  remaja  di  lingkungannya,  perasaan  remaja  akan ketidakamanan atau impulsifisitas, ketergantungan kebutuhan, dan keinginan yang sangat untuk mendapatkan kebebasan. 
  Selain  masalah  kehamilan  pada  remaja  masalah  yang  juga  sangat menggelisahkan  berbagai  kalangan  dan  juga  banyak  terjadi  pada  masa  remaja adalah banyaknya remaja yang mengidap HIV/AIDS

D.  Remaja dan Penyalahgunaan Narkoba
Berdasarkan  data  Badan  Narkotika  Nasional  (BNN),jumlah  kasus  penyalahgunaan  Narkoba  di  Indonesia  dari  tahun  1998  -  2003  adalah  20.301  orang, di mana 70% diantaranya berusia antara 15 -19 tahun
Narkoba  (singkatan  dari  Narkotika,  Psikotropika  dan  Bahan  Adiktif berbahaya  lainnya) adalah bahan/zat yang  jika dimasukan dalam  tubuh manusia, baik  secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan  (adiksi  )  fisik  dan  psikologis.
Narkotika  adalah  zat  atau  obat  yang  berasal  dari  tanaman  atau  bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau  perubahan  kesadaran,  hilangnya  rasa  nyeri  dan  dapat  menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 22 tahun 1997). 
Yang termasuk jenis Narkotika adalah :
·      Tanaman  papaver,  opium  mentah,  opium  masak  (candu,  jicing,  jicingko), opium obat, morfina, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, dan damar ganja. 
·      Garam-garam dan turunan-turunan dari morfina dan kokaina, serta campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan tersebut di atas. 
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku (Undang-Undang No. 5/1997).



 

BAB III
P E N U T U P


A.   Kesimpulan
Selain  keempat masalah  psikososial  yang  sering  terjadi  pada  remaja  seperti yang  disebutkan  dan  dibahas  diatas  terdapat  pula  masalah  masalah  lain  pada remaja  seperti  tawuran,  kenakalan  remaja,  kecemasan,  menarik  diri,  kesulitan belajar, depresi dll. Semua  masalah  tersebut  perlu  mendapat  perhatian  dari  berbagai  pihak mengingat remaja merupakan calon penerus generasi bangsa. Ditangan remaja lah masa depan bangsa ini digantungkan.

B.   Saran
Terdapat  beberapa  cara  yang  dapat  dilakukan  dalam  upaya  untuk  mencegah semakin meningkatnya masalah yang terjadi pada remaja, yaitu antara lain :
Peran Orangtua :
·    Menanamkan pola asuh yang baik pada anak sejak prenatal dan balita
·    Membekali anak dengan dasar moral dan agama
·    Mengerti komunikasi yang baik dan efektif antara orangtua – anak
·    Menjalin kerjasama yang baik dengan guru
·    Menjai  tokoh  panutan  bagi  anak  baik  dalam  perilaku maupun  dalam  hal menjaga lingkungan yang sehat
·    Menerapkan disiplin yang konsisten pada anak
·    Hindarkan anak dari NAPZA
Peran Guru :
·    Bersahabat dengan siswa
·    Menciptakan kondisi sekolah yang nyaman
·    Memberikan keleluasaan siswa untuk mengekspresikan diri pada kegiatan ekstrakurikuler
·    Menyediakan sarana dan prasarana bermain dan olahraga
·    Meningkatkan peran dan pemberdayaan guru BP
·    Meningkatkan disiplin sekolah dan sangsi yang tegas
·    Meningkatkan kerjasama dengan orangtua, sesama guru dan sekolah lain
·    Meningkatkan  keamanan  terpadu  sekolah  bekerjasama  dengan  Polsek setempat
·    Mewaspadai adanya provokator
·    Mengadakan kompetisi sehat, seni budaya dan olahraga antar sekolah
·    Menciptakan  kondisi  sekolah  yang  memungkinkan  anak  berkembang  secara sehat dalah hal fisik, mental, spiritual dan sosial
·    Meningkatkan deteksi dini penyalahgunaan NAPZA
Peran Pemerintah dan masyarakat :
·    Menghidupkan kembali kurikulum budi pekerti
·    Menyediakan  sarana/ olahraga dan bermain
·    Menegakkan hukum, sangsi dan disiplin yang tegas
·    Memberikan keteladanan
·    Menanggulangi  NAPZA,  dengan  menerapkan  peraturan  dan  hukum secara tegas
·    Lokasi sekolah dijauhkan dari pusat perbelanjaan dan pusat hiburan
Peran Media :
·    Sajikan tayangan atau berita tanpa kekerasan (jam tayang sesaui usia)
·    Sampaikan berita dengan kalimat benar dan tepat (tidak provokatif)
·    Adanya  rubrik  khusus  dalam media masa  (cetak,  elektronik)  yang  bebas biaya khusus untuk remaja.



DAFTAR PUSTAKA


·         Atkinson (1999). Pengantar Psikologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
·         Hurlock, E.B (1998). Perkembangan Anak. Alih bahasa oleh Soedjarmo & Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga.

·         Mappiare, A. (1992). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
·         BKKBN. 2001. Remaja Mengenai Dirinya. Jakarta. BKKBN


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar asalkan dengan bahasa yang sopan..ok??