Sabtu, 26 Januari 2013

Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah



BAB I
PENDAHULUAN


1.1   Latar Belakang
Sekarang ini tampaknya ada isu yang mendua terhadap sosok dan cara kerja aparatur pemerintah dikebanyakan negara sedang berkembang. Pandangan pertama menganggap bahwa birokrasi pemerintah ibarat sebuah perahu besar yang dapat menyelamatkan seluruh warga masyarakat dari bencana banjir, ekonomi maupun politik. Bagaikan dilengkapi oleh militer dan partai politik yang kuat, organisasi pemerintah merupakan dewa penyelamat dan merupakan organ yang dikagumi masyarakat. Pandangan ini didasarkan atas asumsi bahwa di dalam mengolah sumber daya yang dimiliki, organisasi ini mengerahkan para intelektual dari beragam latar belakang pendidikan sehingga keberhasilannya lebih dapat terjamin. Jadi mereka berkesimpulan bahwa birokrasi pemerintah memegang peran utama, bahkan peran tunggal dalam pembangunan suatu negara.
Pada sisi lain, pandangan kedua menganggap birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan. Bahkan hampir selalu birokrasi pemerintah bertindak canggung, kurang terorganisir dan buruk koordinasinya, menyeleweng, otokratik, bahkan sering bertindak korupsi. Para aparatnya kurang dapat menyesuaikan diri dengan modernisasi orientasi pembangunan serta perilakunya kurang inovatif dan tidak dinamis. Dalam keadaan semacam ini, pemerintah biasanya mendominasi seluruh organ politik dan menjauhkan diri dari masyarakat.
Berdasarkan dari kedua pandangan tersebut di atas, bahwa pada pandangan pertama mungkin di ilhami dengan pengharapan yang muluk-muluk dan berlebihan, yang dewasa ini mungkin sudah sangat jarang ditemukan, sedangkan pada pandangan kedua merupakan suatu pandangan yang berlebihan yang didasarkan pada prasangka buruk. Bisa juga terjadi kedua pandangan tersebut bertentangan satu sama lain yang didasarkan pada pengamatan yang mendalam dan evaluasi terhadap kondisi nyata aparatur pemerintah. Sudah barang tentu kritik dan ketidakpuasan yang berlebihan terhadap peran birokrasi dalam pembangunan sangatlah tidak adil.
Selalu saja jika terjadi kegagalan dalam usaha pembangunan birokrasi dipandang sebagai biang keladinya. Kegagalan pembangunan memang sebagian besar merupakan tanggung jawab birokrasi namun bukanlah semuanya. Bahkan di beberapa negara, kekurangan efisiensi administrasi negara tidak dianggap sebagai "dosa besar" terhadap ketidakmampuan pemerintah di dalam memenuhi harapan pembangunan ataupun realisasi tujuan sebagaimana telah ditetapkan di dalam rencana pembangunan. Hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan administrasi negara itu dapat dikurangi, kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali. Ketidaksempurnaan adaministrasi ini tidak akan dipandang sebagi situasi yang suram, jika seandainya kondisi kesemerawutan administrasi negara ini tidak merebak ke seluruh pelosok negeri, baik pada tingkat regional maupun tingkat nasional.
Kondisinya dipersuram lagi dengan adanya keinginan dari birokrasi pemerintah untuk mempertahankan status quo dan menerapkan pola otokratik dan otoriter. Peran pemerintah yang amat dominan dalam pembangunan sosial dan ekonomi membuat semuanya menjadi lebih parah.

1.2   Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.         Agar masyarakat daerah pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan otonomi daerah.
2.         Mengetahui dampak negatif dan dampak positif dari otonomi daerah.
3.         Implementasi otonomi daerah terhadap pemerintahan daerah.





 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1   Pengertian Otonomi Daerah
Menurut UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Alexander Abe, PERENCANAAN DAERAH PARTISIPATIF, 2002: 2)
Otonomi Daerah, sebagaimana dikandung dalarn UU No. 22/1999, adalah usaha memberi kesempatan kepada daerah untuk memberdayakan potensi ekonomi, sosial-budaya dan politik di wilayahnya. (Andrik Purwasito, IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DI ARUS LOKAL, 2001:2)

2.2   Pengertian Desentralisasi
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenag pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik. (Alexander Abe, PERENCANAAN DAERAH PARTISIPATIF, 2002: 2)

2.3   Tujuan Utama Otonomi Daerah
Otonomi daerah menurut UU No. 22/1999 dari sudut pandang disentralisasi fiscal. Tujuan utama otonomi daerah adalah untuk mendorong terselenggaranya pelayanan publik sesuai tuntutan masyarakat daerah, mendorong efisiensi alokatif penggunana dana pemerintah melalui desentralisasi kewenangan dan pemberdayaan daerah. (Kamal Alamsyah, Desentralisasi dalam Perspektif Otonomi Daerah, 2002: 8)





 
BAB III
ANALISIS


3.1   Quo Vadis Otonomi Daerah
Hakikat dan spirit otonomi daerah sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 dan No.25 Tahun 1999 adalah distribusi dan pembangunan kewenangan berdasarkan asas desentralisasi, dekosentralisasi, dan perbantuan pada strata pemerintahan guna mendorong prakarsa lokal dalam membangun kemandirian daerah dalam wadah NKRI. Regulasi UU No.22 dan 25 Tahun 1999 merupakan manisfestasi dari aktualisasi spirit otonomi daerah yang bermuatan political sharing, financial sharing, dan empowering dalam mengembangkan kapasitas daerah (capacity building), peningkatan SDM dan partisipasi masyarakat.
Implementasi kebijakan otonomi secara efektif dilaksanakan di Indonesia sejak 1 Januari 2001, memberikan proses pembelajaran berharga, terutama esensinya dalam kehidupan membangun demokrasi, kebersamaan, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman daerah dalam kesatuan melalui dorongan pemerintah untuk tumbuh dan berkembangnya prakarsa awal (daerah dan masyarakatnya) menuju kesejahteraan masyarakat. Prinsip dasar otonomi daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah secara konsepsional adalah: pendelegasian kewenangan (delegation of autority), pembagian pendapatan (income sharing), kekuasaan (dicreation), keanekaragaman dalam kesatuan (uniformity in unitry), kemandirian lokal, pengembangan kapasitas daerah (capacity building).
Implementasi otonomi daerah memberi dampak positif dan negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Dampak positif yang menonjol adalah tumbuh dan berkembangnya prakarsa daerah menuju kemandirian daerah dalam membangun. Dampak negatifnya yang paling mengemuka timbulnya friksi pusat-daerah dan antar daerah, terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam, kewenangan dan kelembagaan daerah. Salah satu penyebabnya bersumber dari harmonisasi kebijaksanaaan dengan kebijaksanaan otonomi daerah, misalnya peraturan pertanahan, tata ruang, penanaman modal, perdagangan, perikanan dan kelautan, jalan, UMKMK, Perda yang counter productive, dan sebagainya.
Akibatnya ketergantungan daerah terhadap Pemerintah Pusat sangat tinggi yang mengakibatkan kreativitas masyarakat lokal berserta seluruh perangkat daerah dan kota menjadi tak terbedayakan sedangkan kebijakan yang represif telah membunuh secara dini aspirasi daerah untuk menuntut keadilan atas kekayaan alam yang dimililiknya. Pemerintah Pusat yang telah mengalami kesulitan sumber dana agaknya juga sangat kewalahan menghadapi persoalan dan gejolak yang terjadi di aras lokal. Berarti selama lebih dari 52 tahun Merdeka, Indonesia gagal melakukan konsolidasi dan persatuan daerah yang adil dan merata. Mungkin saja, karena mempertahankan kekuasaan sebuah rezim lebih diutamakan bahkan cenderung berlebihan sehingga urusan daerah bukan demi kemandirian tetapi justru dalam format mempertahankan kekuasaan.

3.2. Pergeseran Paradigma dalam Menyikapi Desentralisasi
Globalisasi mengakibatkan kompetisi semakin terbuka dan tingkat tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik yang memadai. Berbagai macam peresoalan yang dihadapi masyarakat akhir-akhir ini selalu dikaitkan dengan otonomi daerah. Persoalan yang sangat mendasar adalah implementasi yang tidak teratur karena memang dibiarkan seperti itu.
Ketidakteraturan tersebut salah satunya dikarenakan lemahnya kepemimpinan. Dalam menghadapi perubahan tersebut, agar dapat adaptif dengan perkembangan zaman diperlukan:
1.     Sumber daya Aparatur Pemerintah Daerah yang mempunyai orientasi baru sesuai dengan tuntutan global.
2.     Kepemimpinan yang memberikan keteladanan.
3.     Peningkatan kemampuan birokrasi pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalm menciptakan lapangan kerja dan menyediakan pendidikan yang murah dan berkualitas.
Kebijakan otonomi daerah diharapkan mampu memelihara integrasi nasional dan keutuhan bangsa Indonesia. Dengan otonomi daerah dapat mewujudkan hubungan kekuasaan menjadi lebih adil, proses demokrasi di daerah berjalan baik dan adanya peningkatan kesejahteraan di daerah. Daerah memiliki kepercayaan lepada pemerintah pusat yang akhirnya dapat memperlancar pembangunan bangsa melalui keutuhan nasional.
Implementasi kebijakan otonomi daerah berimplikasi pada pembangunan daerah. Pembangunan daerah diharapkan "terwujudnya kemandirian daerah dalam pengelolaan pembangunan secara serasi, profesional, dan berkelanjutan". Dalam konteks tersebut pembangunan daerah yang dilakukan pemerintah pada daerah dalam rangka reposisi paradigma baru pembangunan daerah yang berbasis kewilayahan, kemitraan pembangunan, lingkungan hidup, serta penerapan good governmence dengan strategi sebagai berikut :
1.     Mendorong dan memfasilitasi koordinasi perencanaan pembangunan daerah.
2.     Mengembangkan kapasitas kelembagaan pembangunan daerah.
3.     Mendorong terciptanya keselarasan dan keserasian pembangunan daerah.
4.     Mendorong dan memfasilitasi pengembangan/pendayagunaan potensi daerah.
5.     Mengembangkan fasilitasi penataan dan pengelolaan lingkungan hidup.
6.     Mengembangkan iklim yang kondusif bagi penembangan investasi dan usahadaerah.
7.     Mengembangkan SDM aparatur pengelola pembangunan daerah yang profesional dalam pelayanan pembangunan di daerah.
Pembangunan daerah merupakan salah satu tujuan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang berbasis kewilayahan dan lingkungan serta berkelanjutan. Tjahya Supriatna (2002) bahwa pembangunan ekonomi daerah didasarkan pada pengembangan potensi daerah (manusia, alam, dan lingkungan hidup) dalam koridor ekonomi kerakyatan dengan prinsip (productivity, effciency, redistribution income, realocate economic, economic advantage and errvironmental sustainable). Arah kebijakan pembangunan ekonomi daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui :
1.     Kebijakan daerah untuk menumbuhkan pelaku ekonomi (sektor pemerintah, swasta dan masyarakat), arus perdagangan dan investasi daerah.
2.     Menciptakan dan memperluas kerjasama antardaerah, daerah dengan pusat, dan daerah dengan LN di bidang ekonomi, yang didukung dengan perangkat hukum.
3.     Menggali dan memanfaatkan potensi dan keunggulan ekonomi daerah.
4.     Meningkatkan kegiatan ekonomi dan industrialiasi perdesaaan dengan agrobisnis berbasis agraris dan maritim.
5.     Pengembangan kawasan ekonomi dan daerah perbatasan berdasarkan pengelolaaan potensi sumber daya ekonomi dan lingkungan hidupnya.

Karakteristik umum organisasi pemerintah daerah (berdasarkan UU No.22 Tahun 1999) adalah sebagai berikut:
1.     Diberi peluang untuk menyusun organisasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing (Self Renewing System).
2.     Ada kaitan langsung antara visi dan misi dengan bentuk dan susunan organisasi
3.     Diarahkan untuk memiliki susunan kinerja yang jelas dan terukur.
4.     Fungsi utamanya adalah memberi pelayanan kepada masyarakat sehingga unsur pelaksana (teknis maupun kewilayahan) perlu memperoleh perhatian yang lebih besar, baik dari segi kewenangan, dana, personal maupun logistik
5.     Orientasi mulai bergeser dari struktural ke arah fungsional (dari basis kewenangan kepada basis kompetensi).
6.     Sistem hierarki menjadi lebih longgar, rentang kendali menjadi tidak beraturan, sehingga pengembangan karir PNS secara struktural menjadi tidak pasti.

Karakteristik umum organisasi pemerintah daerah (berdasarkan UU No.5 Tahun 1974) adalah sebagai berikut:
1.    Fungsi utamanya lebih sebagai promotor pembangunan dibandingkan sebagai pelayan masyarakat.
2.    Terpengaruh oleh organisasi dan manajemen militer yang tidak berorientasi pada pelayanan .
3.    Unsur staff memegang peranan penting sebagai "think tank" sedangkan unsur pelaksana kurang memperoleh perhatian secukupnya.
4.    Belum ada pengukuran serba seragam, kaku dan tidak akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat.
5.    Lebih berorientasi pada keberhasilan kepemimpinan kepala daerah, belum kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat.
6.    Kinerja yang bersifat obyektif dan berparameter jelas (pengukuran kinerja lebih didasarkan pada pertimbangan subyektif dari pimpinan).
7.    Lebih bercorak organisasi struktural yang berorientasi pada kekuasaan, dibandingkan organisasi fungsional yang berorientasi kompetensi.
8.    Hierarki dan rentang kendali dijaga secara ketat.

Berdasarkan pelaksanaan UU No. 5 tahun 1974 yang sesungguhnya punya semangat yang sama dengan UU No. 22/1999, yakni memberi "otonomi yang nyata dan bertanggung jawab." Hanya saja dalam prakteknya pemerintah Pusat tidak mampu menjalankan amanat undang-undang itu karena unsur-unsur kepentingan di Daerah khususnya menyangkut jaminan dan kemampuan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, tidak diberikan secara adil dan merata, baik kemampuan sumber daya manusia maupun sumber pembiayaan. Dalam hal ini Pemerintah Pusat cenderung setengah hati dalam memberikan kewenangan kepada Daerah secara penuh, karena Daerah harus secara nyata menjalankan kewajiban dengan segala resikonya daripada memberi hak-hak yang penuh kepada Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan yang nyata dan bertanggung jawab.

3.3   Kesiapan Aparatur Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dengan adanya globalisasi, teknologi, dan perubahan sosial mengakibatkan dampak yang besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Karena perubahan-perubahan inilah maka kebijakan pemerintah daerah haruslah mempunyai Standar Pertanggungjawaban (Accountability) yang tinggi dan dapat diandalkan.
Implikasinya jelas, Pemerintah Daerah harus memberikan pelayanan yang lebih efektif dan Cost effisien dalam keterbatasan anggaran yang ada. Semua ini sangat tergantung kepada kemampuan aparat pemerintah daerah dalam berpikir, bersikap, bertindak kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan peluang-peluang serta mengatasi tantangan dalam perubahan yang begitu cepat. Dalam menghadapi tantangan tersebut itulah diperlukan sisi yang tepat tentang pemahaman dan pengelolaan manajemen pemerintahan.
Namun demikian harus disadari bahwa upaya melakukan perbaikan dalam penyelenggaraan manajemen pemerintahan tidak semudah yang diperkirakan, karena akan menghadapi berbagai tantangan dan resistensi berbagai pihak baik dari dalam maupun dari luar yang merasa akan dirugikan atas adanya perubahan tersebut. Bagi para pelaku baik di sektor publik maupun di sektor swasta perubahan dimaksud pada intinya mencakup aspek-aspek :strategi (Strategic), sistem (System), kemampuan (Ability), personil (staff), gaya kepemimpinan (style), rekatan nilai budaya (Shared Value).
Perubahan dalam penyelenggaran Birokrasi pemerintah Daerah harus mengacu:
1.     Birokrasi Pemerintah Daerah harus mampu mengarahkan dalam mengupayakan terwujudnya potensi dan inisiatif masyarakat dalam mengatasi permasalahan atau tuntutan kebutuhannya.
2.     Birokrasi Pemerintah Daerah harus mampu bersaing dalam memberikan pelayanan (Delivery of Services) dengan menumbuhkan efisiensi, inovasi dan motivasi serta prestasi.
3.     Birokrasi Pemerintah Daerah harus mengupayakan bagaimana menjelaskan kehendak atau keinginan pemerintahan kepada masyarakat daripada  mengatur masyarakat untuk tidak berbuat hal-hal yang tidak diinginkan oleh pemerintah.
4.     Penyelenggaraan pemerintahan yang berorientasi kepada dampak hasil (outcome) bukan atas bahan masukan (input) yang diperlukan.
5.     Penyelenggara pemerintahan yang berorientasi pada upaya memenuhi kcbutuhan masyarakat bukan kepada kepentingan dan data prosedur birokrasi pemerintahan.
6.     Penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki wawasan dan pandangan kewirausahaan.
7.     Penyelenggaraan pemerintahan lebih memanfaatkan dan berorientasi kepada kekuatan mekanisme pasar dalam upaya mengarahkan (fasilitatif) prakarsa dan gerak perubahan masyarakat.





BAB IV
PENUTUP

4.1   Kesimpulan
Tujuan utama Otonomi Daerah adalah tercapainya penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) dengan landasan demokrasi yang menitikberatkan pada peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan keanekaragaman asset sosial, ekonomi, budaya di aras lokal.
Demokrasi partisipatoris menjadi impian Otonomi Daerah karena lebih banyak bertumpu pada kekuatan rakyat, namun di sisi lain masyarakat. Namun, Otonomi Daerah menyisakan banyak masalah karena belum tuntasnya peraturan pemerintah tentang petunjuk pelaksanaan dan implementasi yang cepat dan tepat. Penyelenggaraan kebijakan Otonomi Daerah oleh Pemerintah Pusat cenderung tidak dianggap sebagai amanat konstitusi sehingga proses desentralisasi menjadi tersumbat. Otonomi Daerah memberikan keleluasaan dan kewenangan yang bersar kepada daerah untuk  memberdayakan daerah sehingga akan menimbulkan disintegrasi akibat terkotak-kotaknya daerah tanpa adanya kontrol dari Pusat.
Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang tetap terjaminnya hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah. Dengan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah Otonom dan karena itu daerah kabupaten maupun kota tidak lagi menjadi wilayah administrasi. Otonomi Daerah diarahkan untuk lebih meningkatkan peranan dan fungsi DPRD, baik sebagai sebagai fungsi legislatif, fungsi kontrol maupun anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
Dengan demikian setiap daerah kabupaten dan kota berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Selain itu juga agar tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta secara horisontal antar daerah satu dengan daerah yang lain.
Otonomi Daerah diarahkan untuk memperbesar tingkat partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan negara. Di alam modernisasi, partisipasi rakyat memang sering menimbulkan atau memperbesar tingkat intensitas konflik-konflik komunal. Sehingga, perubahan sosial lebih banyak merupakan reinkarnasi dari solidaritas komunal daripada integrasi kelompok-kelompok yang saling berbeda.

4.2   Saran
Otonomi Daerah secara teoritis dipandang sebagai upaya mengintegrasikan kepentingan ekonomi dan politik antara Pusat dan Daerah, untuk mengintegrasikan nilai dalam masyarakat yang sedang berkembang, baik melalui strategi yang menekankan pentingnya konsensus dan memusatkan perhatian pada usaha menciptakan keseragaman semaksimal mungkin maupun menekankan interaksi antara kepentingan-kepentingan kelompok dengan kepentingan daerah.
Otonomi Daerah selain optimis juga harus disikapi dengan hati-hati karena berbagai hambatan baik pada tingkat penyelenggara negara maupun pada tingkat masyarakat bawah masih perlu sarana untuk memperlancar arus informasi dan dialog sehingga tercipta pola komunikasi politik yang mampu membangun sebuah partnership yang mendorong daerah untuk mandiri.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar asalkan dengan bahasa yang sopan..ok??