BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua
komunikasi interpersonal, dari yang sederhana hingga yang rumit, berlangsung
dengan prinsip yang sama: makna dikirim melalui pesan verbal dan nonverbal dari
komunikator kepada komunikate. Indikator keberhasilan komunikasi adalah jika
makna pesan yang diterima komunikate sama dengan makna yang dikirim
komunikator. Sebaliknya, komunikasi akan gagal bila makna pesan yang diterima
komunikate berbeda sebagian atau seluruhnya dengan makna yang dikirim
komunikator.
Makalah
ini membahas pesan dalam konteks komunikasi interpersonal. Pembahasan diawali
dengan uraian tentang pesan verbal, termasuk pengertian, unsur dasar, kelebihan
dan kekurangan yang dimilikinya sebagai sarana transmisi makna, termasuk word
barrier. Setelah itu pembahasan diarahkan pada uraian tentang pesan nonverbal,
yang mencakup pengertian, fungsi, tinjauan psikologis terhadap perannya dalam
komunikasi, dan jenis-jenis pesan nonverbal. Konsep-konsep tentang kedua jenis
pesan itu diharapkan dapat menjadi landasan yang memadai untuk membahas apa
yang dimaksud dengan makna dan hubungan makna dan pesan pada bagian
selanjutnya. Setelah itu, makalah ini diakhiri dengan begian kesimpulan. Dalam
makalah ini istilah komunikan, komunikator, dan komunikate didasarkan pada
batasan Rahmat (2005: 5) yang mendefinisikan komunikan sebagai individu peserta
komunikasi, komunikator sebagai orang yang memulai komunikasi (peyampai pesan),
dan komunikate sebagai pihak yang menerima komunikasi (penerima atau pendengar
pesan).
B. Tujuan
Untuk
mengetahui pesan dalam konteks
komunikasi interpersonal. dan uraian tentang pesan verbal, termasuk pengertian,
unsur dasar, kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya sebagai sarana transmisi
makna, termasuk word barrier. Serta untuk mengetahui uraian tentang pesan
nonverbal, yang mencakup pengertian, fungsi, tinjauan psikologis terhadap
perannya dalam komunikasi, dan jenis-jenis pesan nonverbal.
BAB II
PEMBAHASAN
Peran Pesan
dalam Komunikasi
Laswell
(dalam Rahmat, 2005: 254) menggambarkan komunikasi sebagai “Who says What In
Which Channel To Whom With What Effect”. Pernyataan ini mengungkapkan bahwa
pesan (the What) merupakan salah satu unsur yang penting dalam
komunikasi. Tujuan komunikasi (memberi informasi, membujuk, menghibur,
mempengaruhi, dan sebagainya) akan tercapai bila makna pesan yang disampaikan
komunikator sama dengan makna yang diterima komunikate. Untuk mencapai tujuan
itu, pesan yang disampaikan biasanya diungkapkan melalui perpaduan antara pesan
verbal dan nonverbal.
A. Pesan
Verbal
Pesan
verbal atau pesan linguistik adalah pesan yang digunakan dalam komunikasi yang
menggunakan bahasa sebagai media. Pesan verbal ditransmisikan melalui kombinasi
bunyi-bunyi bahasa dan digunakan untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud.
Dengan kata lain, pesan verbal adalah pesan yang diungkapkan melalui bahasa,
yang menggunakan kata-kata sebagai representasi realitas atau makna.
Sebagaimana
halnya dengan sistem komunikasi yang lain, pesan dalam komunikasi verbal
disampaikan melalui dua jenis sinyal, yakni tanda-tanda (signs) dan
simbol-simbol (Krauss, 2002). Tanda-tanda adalah sinyal yang memiliki hubungan
sebab (causal) dengan pesan yang diungkapkan. Sebagai contoh, kita
mengatakan bahwa jika seseorang meringis hal itu berarti dia sedang merasa
kesakitan, karena rasa sakit merupakan sebuah penyebab mengapa orang meringis.
Simbol-simbol merupakan produk konvensi sosial. Oleh karena itu maknanya
didasarkan pada kesepakatan yang dibuat oleh para pengguna atau penutur.
Sebagai contoh, bagi orang Indonesia, kumpulan bunyi yang menghasilkan kata
“rumah” bermakna bangunan yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal karena
memang disepakati demikian. Tidak ada alasan intrinsik mengapa konsep “bangunan
yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal” tidak diungkapkan dengan
kata yang lain, dan mengapa konsep tersebut diungkapkan dengan sekumpulan bunyi
bahasa yang berbeda.
Kelebihan
dan Keterbatasan Pesan Verbal sebagai Sarana Pengiriman Makna.
Bahasa
merupakan satu-satunya sistem simbol dan sekaligus media paling efektif yang
digunakan manusia sebagai sarana berkomnikasi. Efektivitas tersebut
dimungkinkan oleh tiga aspek bahasa: semanticity, generativity
dan displacement (Krauss, 2002). Aspek semanticity merujuk pada
hakikat kata-kata (unsur utama bahasa) sebagai simbol yang merepresentasikan
objek atau realitas tertentu. Dengan kata-kata, kita dapat menamai atau memberi
label pada tindakan, pemikiran, perasaan, atau orang sehingga kita dapat mengindentifikasi
atau merujuknya tanpa harus menghadirkannya secara langsung. Aspek generativity
(kadang-kadang disebut productivity) merujuk pada kemampuan bahasa untuk
menghasilkan pesan-pesan bermakna dalam jumlah tak terbatas melalui kombinasi
sejumlah simbol linguistik yang sangat terbatas. Sebagai contoh, hanya dengan
menggunakan tiga fonem /a/, /i/, dan /r/ kita bisa membentuk kata ‘air’, ‘Ira’,
‘ria’ dan ‘ari’. Aspek displacement merujuk pada kemampuan bahasa untuk
digunakan sebagai sarana untuk membicarakan sesuatu yang ‘jauh’ dalam konteks
ruang dan waktu, atau sesuatu yang ada hanya dalam imajinasi. Kombinasi antara
kemampuan bahasa untuk menghasilkan pesan-pesan baru yang bermakna dalam jumlah
tak terhingga tanpa dibatasi ruang dan waktu dengan kemampuan kognitif manusia
untuk memanfaatkan ketiga aspek tersebut memungkinkan berlangsungnya komunkasi
yang sangat efektif dan adaptif.
Disamping
berbagai kelebihan yang dimilikinya sebagai sarana penyampaian makna, bahasa
juga memiliki berbagai kelemahan yang timbul dari: (a) keterbatasan yang
dimiliknya dan (b) faktor psikologis para komunikan, khususnya pemikiran dan
perilaku yang menghambat penyampaian makna, yang lebih dikenal dengan word
barriers. Mulyana (2007: 269-280), menjelaskan empat keterbatasan bahasa
berikut sebagai penyebab kelemahannya dalam menyampaikan maksud.
1.
Jumlah kata yang tersedia dalam setiap
bahasa sangat terbatas sehingga tidak semua objek dalam realita dapat diwakili
oleh kata-kata. Bahasa Inggris yang pada tahun 1993 diperkirakan memiliki
450.000 kata (Huda, 1999) dan merupakan bahasa terkaya dengan kosa kata,
misalnya, terus menambah kosa kata agar dapat merepresentasikan semakin banyak
objek.
2.
Kata-kata memiliki makna yang ambigu
dan kontekstual. Kata-kata bersifat ambigu karena hubungan antara kata dan
objek yang diwakilinya bersifat arbitrer (semena-mena). Kata tidak merujuk pada
objek tetapi pada persepsi dan interpretasi orang sebagai wakil objek tersebut.
Sebagai contoh, ungkapan “Ruangan ini panas” dan “Mangga ini manis” sebenarnya
hanya menunjukkan asumsi dan pengecapan si pembicara bahwa ruangan itu panas
dan mangga itu manis. Bagi orang lain mungkin saja ruangan iu sejuk dan mangga
itu “asam”. Ambiguitas kata juga terlihat dari kenyataan bahwa makna kata
sangat tergantung pada konteksnya. Kata ‘panas’ dalam konteks “kopi panas”
berbeda dengan “uang panas” atau “hati yang panas” atau “adegan panas”.
3.
Makna kata-kata bersifat bias karena
dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan. Menurut hipotesis relativitas linguistik
yang diajukan Sapir dan Whorf (dalam Mulyana 2007: 276), setiap bahasa
menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran,
pengalaman batin, dan kebutuhan pemakainya. Akibatnya, setiap bahasa membuat
para penuturnya memandang dan berpikir tentang realitas dengan cara yang khas
dan berperilaku dengan cara yang khas pula. Secara lebih spesifik, Whorf
menegaskan hipotesis itu dengan mengatakan: (1) tanpa bahasa manusia tidak
dapat berpikir; (2) bahasa mempengaruhi persepsi; dan (3) bahasa mempengaruhi
pola pikiran. Esensi bahasa dalam aktivitas berpikir terungkap dengan jelas
melalui kenyataan bahwa ketidakmampuan suku-suku primitif memikirkan hal-hal
yang ‘canggih’ bukan karena mereka tidak dapat berpikir, tetapi karena bahasa
mereka tidak dapat memfasilitasi mereka untuk melakukannya (Miller, 1983: 176).
Pengaruh bahasa terhadap persepsi dapat dilihat, misalnya, melalui ungkapan
“Time flies”, “El reloj anda” (waktu berjalan, bahasa Spanyol) dan “Waktu
berjalan” yang mengungkapkan perbedaan persepsi orang Amerika, orang Spanyol
dan orang Indonesia tentang waktu. Orang Amerika selalu bergegas dan
memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, sedangkan orang Spanyol dan orang Indonesia
cenderung memandang hidup lebih santai (Rahmat, 2005 :274). Pengaruh bahasa
terhadap pola pikiran dapat dilihat pada perbandingan kata-ganti orang pertama
dan kedua dalam bahasa Sunda dan bahasa Inggris. Dalam bahasa Sunda terdapat
tujuh kata ganti orang pertama (abdi, kuring, uing, urang, kula, dewek,
dan aing) dan lima kata ganti orang kedua (andika, anjeun, maneh,
silaing, dan sia. Sedangkan bahasa Inggris hanya memiliki satu kata
ganti orang pertama (I) dan satu kata ganti orang kedua (you).
Fenomena ini, menurut Mulyana (2007: 278), memaksa penutur bahasa Sunda untuk
memandang orang-orang yang dihadapi dengan strata atau kategori tertentu.
Sedangkan bahasan Inggris membuat para penuturnya bersikap egaliter.
4.
Orang cenderung mencampuradukkan fakta,
penafsiran, dan penilaian karena kekeliruan persepsi sewaktu menggunakan
bahasa. Sebagai contoh, bagaimana orang menggambarkan seorang pria dewasa yang
dengan tekun memotong rumput di sebuah halaman rumah pada hari kerja pukul
o7.00 pagi? Sebagian orang akan menafsirkan pria itu sedang bekerja (karena
secara fakual dia memotong rumput) dan tergolong pekerja yang rajin (penilaian)
karena dia sudah bekerja dengan tekun meskipun hari masih pagi. Akan tetapi,
jika fakta lain, bahwa pekerjaan tetap pria itu adalah sebagai dokter,
diketahui, maka penafsiran tadi akan berubah menjadi “pria itu sedang
bersantai”.
Seperti
dikatakan sebelumnya, kelemahan pesan verbal juga disebabkan oleh faktor
psikologis para komunikan, khususnya pemikiran dan perilaku yang menghambat
penyampaian makna, yang dikenal dengan word barriers. Menurut Devito
(1995), terdapat tujuh bentuk word barrier yang paling umum, seperti
diuraikan dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1: Daftar Tujuh Word Barrier yang Umum
No
|
Barrier
|
Definisi
|
Contoh
|
1
|
polarisasi
|
Kecenderungan
untuk melihat dan menggambarkan dunia dalam dua kutub yang ekstrim, seperti
baik atau buruk, pintar atau bodoh, positif atau negatif.
|
·
Saya tidak dapat menentukan siapa tokoh baik dan tokoh jahat dalam novel ini.
·
Nah, sekarang apakah kamu mendukung kami atau tidak?
|
2
|
orientasi
intensional
|
Kecenderungan
untuk memandang orang, objek, atau peristiwa berdasarkan label atau julukan
yang diberikan, bukan berdasarkan hakikat (eksistensi apa adanya)
|
·
Kucing adalah binatang piaraan terbaik di dunia.
·
Saya tidak suka pada anjing. Tolong singkirkan gambar anjing itu jauh-jauh.
|
3
|
by-passing
|
Kegagalan
mengkomunikasikan makna karena para komunikan memberikan makna yang berbeda
pada kata yang sama atau meggunakan kata-kata yang berbeda dengan makna yang
sama.
|
·
Ketika di Yogyakarta, saya sering makan beton1 dan balok.2
Ÿ A:
Jack kelihatannya kurang bernafsu kuliah di S2.
Ÿ B:
Tapi, menurut pendapatku dia kurang termotivasi.
|
4
|
Fact-inference
confusion
|
Kegagalan
membedakan fakta dari opini atau kesimpulan dan mengaggap opini sebagai
fakta.
|
· Celline
Dion adalah penyanyi terhebat di dunia (opini). Semua orang pasti memujanya.
|
5
|
allness
|
Kecenderungan
untuk membuat generalisasi prematur dengan menggunakan apa yang sudah
diketahui tentang sesuatu sebagai dasar generalisasi yang valid.
|
·
Bagian awal buku ini sangat tidak menarik. Jadi, bagian-bagian selanjutnya
pasti tidak menarik.
|
6
|
evaluasi
statis
|
Kecenderungan
untuk menggambarkan realitas sebagai hal yang statis atau tidak berubah.
|
·
Anak-anak zaman sekarang sudah sangat enderung durhaka karena berani mendebat
pendapat orangtua mereka. Saya dulu tidak berani membantah ucapan ayah saya.
|
7
|
kegagalan
membedakan
|
Kecenderungan
mengelompokkan individu-individu dalam kelompok-kelompok tertentu tanpa
memperhitungkan keunikan masing-masing individu.
|
·
Politisi X dan Y terkenal dengan kelicikannya. Karena ayahmu seorang politisi
pastilah dia licik.
·
Sepupumu Wulan seorang bintang film? Dia pasti cantik dan mempesona.
|
B. Pesan
Nonverbal
Secara
sederhana, pesan nonverbal didefinisikan sebagai semua tanda atau isyarat yang
tidak berbentuk kata-kata. Samovar dan Proter (dalam Mulyana, 2007: 343),
secara lebih spesifik, mendefinisikannya sebagai “semua ransangan (kecuali
ransangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh
individu dan penggunaan lingkungan oleh indivdu, yang mempunyai nilai pesan
potensial bagi pengirim atau penerima.” Jadi, pesan nonverbal mencakup seluruh
perilaku yang tidak berbentuk verbal yang disengaja atau tidak disengaja
sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan. Berdiam diri juga
merupakan pesan nonverbal jika hal itu memberi makna bagi pengirim atau
penerima. Devito (2002: 134) menegaskan: “You communicate nonverbally
when you gesture, smile or frown, widen your eyes, move your chair closer to
someone, wear jewelry, touch someone, or raise your vocal volume—and when
someone receives these signals. Even if you remained silent and someone
attributed meaning to your silence, communication would have taken place”.
Dalam
komunikasi interpersonal, secara umum, penyampaian maksud (makna) akan
berlangsung efektif bila komunikator memadukan kedua bentuk pesan tersebut.
Bahkan dalam rangka mengkomunikasikan perasaan, pesan nonverbal berperan lebih
dominan. Penelitian Mehrabian (dalam Beebe dkk., 1999: 214) mengungkapkan bahwa
55% pesan berbentuk emosi disampaikan melalui saluran ekstralinguistik, 38%
melalui saluran paralinguistik dan hanya 7% melalui saluran verbal. Oleh karena
itu, untuk menjamin efektivitas penyampaian pesan dalam komunikasi
interpersonal, interaksi antara pesan verbal dan nonverbal harus diberdayakan.
Untuk
menjelaskan esensi interaksi pesan verbal dan nonverbal dalam penyampaian
makna, Devito (1995: 175-176) menguraikan enam fungsi pesan nonverbal dalam
komunikasi interpersonal. Pertama, fungsi aksentuasi, yang digunakan
untuk membuat penekanan pada bagian tertentu pesan nonverbal, komunikator
sering menggunakan pesan nonverbal, seperti meaninggikan nada suara atau
menggebrak meja. Kedua, fungsi komplemen, yang digunakan untuk
menyampaikan nuansa tertentu yang tidak dapat diutarakan melaui pesan verbal,
pembicara akan menggunakan pesan nonverbal. Sebagai contoh, dia akan akan
mengerenyitkan kening dan menggelengkan kepala untuk melengkapi pesan “Saya
tidak setuju!” yang telah disampaikannya melalui pesan verbal. Ketiga, fungsi
fungsi kontradiksi, yang digunakan untuk mempertentangkan pesan verbal
dengan pesan nonverbal dalam rangkan mencapai maksud tertentu. Misalnya, untuk
menunjukkan bahwa dia hanya ‘berpura-pura’, pembicara dapat mengedipkan mata
sewaktu mengucapkan pernyataan tertentu. (pesan nonverbal). Keempat, fungsi
regulasi, yang digunakan untuk menunjukkan bahwa komunikator ingin mengatakan
sesuatu, dengan cara membuat isyarat tangan atau mencondongkan tubuh ke depan.
Kelima, fungsi repetisi, yang digunakan untuk mengulangi maksud yang
disampaikan melalui pesan verbal, seperti “Kamu menerima lamarannya?” dengan
menaikkan alis mata dan menunjukkan ekspresi wajah tidak percaya. Keenam,
fungsi substitusi, yang digunakan untuk mengganti pesan verbal tertentu
seperti “Saya tidak setuju” dengan pesan nonverbal berupa gelengan kepala.
1. Tinjauan
Psikologis Terhadap Peran Pesan Nonverbal
Mengingat
perannya yang begitu penting dalam penyampaian makna, diperlukan pemahaman yang
baik tentang dimensi psikologis, khususnya permasalahan tentang bagaimana pesan
nonverbal dapat mendukung atau menghambat efektivitas komunikasi. Pemahaman
tentang hal ini diharapkan dapat membantu dalam melaksanakan komunikasi secara
efektif. Untuk tujuan ini, uraian Leathers (dalam Rahmat, 2005: 287-289)
tentang enam alasan mengapa pesan nonverbal sangat penting dapat dijadikan
sebagai acuan.
Pertama, faktor-faktor
nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Dalam setiap
komunikasi tatap muka, secara sadar atau tidak, komunikator banyak menyampaikan
pesan-pesan nonverbal. Sebaliknya, komunikate lebih banyak “membaca” pikiran
komunikator melalui petunjuk-petunjuk nonverbal. Sebagai contoh, ketika seorang
pria mengetahui lamarannya untuk memperistri gadis pujaannya ditolak, dia
mungkin mengatakan, “Ya, sudah. Tidak jadi masalah”, namun ekspresi wajah dan
tatapan matanya mungkin menunjukkan kekecewaan yang sangat mendalam.
Kedua, perasaan dan
emosi terungkap lebih cermat melalui pesan non-verbal daripada pesan verbal.
Bila pesan verbal lebih sesuai digunakan untuk menyampaikan fakta, ilmu, atau
keadaan, pesan nonverbal lebih potensial untuk menyatakan perasaan (Mulyana,
2007: 349). Kenyataan inilah yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan kerinduan terhadap pacarnya melalui surat dibandingkan melalui
pertemuan langsung. Melalui surat, akan sulit baginya menggambarkan debaran
jantung, getaran suara, dan kesayuan tatapan mata karena memendam rindu.
Sedangkan melalui pertemuan langsung semua hal itu dapat dilakukan dengan
mudah.
Ketiga, pesan
nonverbal menyampaikan makna (maksud) yang relatif bebas dari penipuan,
distorsi, dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dimodifikasi secara sadar,
kecuali oleh actor-aktor yang terlatih. Oleh karena itu, komunikator biasanya
lebih jujur ketika berkomunikasi melalui pesan nonverbal; dan sebaliknya,
komunikate lebih percaya pada pesan nonverbal daripada pesan nonverbal. Dalam situasi
komunikasi “double-binding”—ketika pesan verbal bertentangan dengan pesan
nonverbal—orang bersandar pada pesan nonverbal. Ketika seorang dosen mengatakan
dia memiliki waktu untuk berdiskusi dengan mahasiswa tapi kemudian berkali-kali
melihat arlojinya, sang mahasiswa biasanya akan segera mendeteksi bahwa sang
dosen tidak memiliki waktu.
Keempat, pesan
nonverbal memiliki fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai
komunikasi yang berkualitas tinggi. Pesan metakomunikatif berfungsi memberikan
informasi tambahan untuk memperjelas maksud. Hal itu dilakukan dengan
memberdayakan fungsi aksentuasi, repetisi, subsitusi, kontradiksi, dan
komplemen pesan nonverbal bagi pesan verbal.
Kelima, pesan
nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan
pesan verbal. Pesan verbal sering mengandung redundansi (penggunaan lebih
banyak lambing daripada yang dibutuhkan), repetisi, ambiguitas dan abstraksi.
Akibatnya, pesan nonverbal cenderung lebih efisien dalam hal penggunaan waktu.
Keenam, pesan
nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Dalam situasi tertentu,
kita perlu mensugesti (mengungkapkan saran, gagasan atau emosi secara
tersirat). Hal ini biasanya paling efektif disampaikan melalui pesan nonverbal.
Sebagai contoh, mensugesti anak kecil untuk membuang sampah pada tempatnya
paling efektif dilakukan melalui keteladanan.
2.
Tantangan dalam Mempelajari Pesan
Nonverbal dan Klasisifikasi Pesan Nonverbal
Dibandingkan
dengan studi komunikasi verbal, studi komunikasi nonverbal masih relatif baru.
Akibatnya, referensi tentang pesan nonverbal masih sangat terbatas. Kamus yang
dapat digunakan untuk membantu mengiterpretasikan makna kata tersedia cukup
berlimpah, namun kamus atau buku-buku yang dapat menolong kita memahami makna
pesan nonverbal belum tersedia. Beebe, dkk. (1999: 218-219) menjelaskan empat
tantangan yang akan ditemukan dalam upaya memahami pesan-pesan nonverbal.
a. Pesan Nonverbal Bersifat Ambigius
Berbeda
dengan makna kebanyakan kata-kata suatu bahasa yang dikenal para penuturnya,
makna pesan verbal mungkin hanya dipahami oleh individu yang menggunakannya.
Bahkan tidak jarang yang bersangkutan dengan sengaja bermaksud mengungkapkan
pesan itu. Sebagian orang tidak dapat mengungkapkan emosinya secara nonverbal,
dan sebagian lagi tidak dapat menggunakan pesan nonverbal karena kelainan fisik
atau memiliki suara yang monoton. Oleh karena itu, makna pesan nonverbal bisa
multitafsir.
b. Pesan Nonverbal Bersifat Berkesinambungan
Berbeda
dengan kata-kata yang dapat diidentifikasi bagian awal, pertengahan, dan
akhirnya, pesan nonverbal tidak dapat dipisah-pisah ke dalam bagian-bagian.
Gerak-gerik tubuh, ekspresi wajah, atau tatapan mata dapat berpindah dari satu
situasi ke situasi lainnya tanpa tanda-tanda peralihan yang jelas. Bagi para
peneliti, sifat komunikasi nonverbal yang mengalir secara berkesinambungan ini
membuatnya sulit diteliti dan diinterpretasi.
c. Pesan Nonverbal Bersifat Multi Saluran
Pada
umumnya, pesan nonverbal yang diungkapkan komunikator dan, sebaliknya, yang
ditangkap komunikate, tidak satu per satu, tetapi beberapa pesan sekaligus.
Ketika seseorang berpidato, pesan nonverbal yang dikirimkannya pada saat
bersamaan bisa berbentuk cara berdiri, gerakan tangan, ekspesi wajah, dan
tatapan mata. Sambil mendengar pesan verbal yang disampaikan, setiap hadirin
cenderung menginterpretasi salah satu pesan nonverbal saja.
d. Pesan Nonverbal Terikat pada Budaya
Berbagai
penelitian menunjukkan adanya pesan nonverbal yang universal, seperti tersenyum
ketika berbahagia, murung ketika berduka, menaikkan alis mata ketika bertemu
dengan orang lain, dan anak-anak menaikkan lengannya jika ingin digendong atau
menghisap jari jempol untuk memperoleh ketenangan. Akan tetapi, sebagian besar
pesan nonverbal dikembangkan dalam bentuk dan makna yang berbeda-beda. Dengan
kata lain, pesan nonverbal terikat pada budaya. Perbedaan-perbedaan kultural
dalam menginterpretasi pesan nonverbal yang diuraikan Beebe, dkk. (1999: 219)
merupakan contoh tentang keterikatan pesan nonverbal pada budaya. Orang Arab,
Amerika Selatan dan Yunani menggunakan kontak mata yang lebih intensif
dibandingkan orang dari budaya lain. Orang Inggris membuat antrian dalam bentuk
garis lurus, sedangkan antrian orang Prancis terlihat lebih ‘berserakan’.
3. Klasisifikasi
Pesan Nonverbal
Menurut
Rahmat (2005: 289), hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang klasifikasi
pesan nonverbal. Salah satu klasifikasi yang sering digunakan adalah
pengelompokan pesan verbal ke dalam tiga jenis utama: (1) pesan nonverbal
visual, yang meliputi kinesik, proksemik, dan artifaktual; (2) pesan nonverbal
auditif, terdiri dari pesan paralinguistic; dan (3) pesan nonverbal nonvisual
nonauditif, yang meliputi sentuhan (tactile) dan penciuman (olfactory).
Pesan
kinesik dibentuk dengan menggunakan gerakan tubuh, yang terdiri dari tiga
komponen utama: pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural. Pesan fasial
menggunakan ekspresi wajah untuk menyampaikan paling tidak sepuluh makna,
yaitu: kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan,
pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad (Rahmat, 2005: 289).
Pesan
gestural menggunakan gerakan sebagian anggota tubuh untuk menyampaikan makna
tertentu. Menurut Devito (2002: 136), penelitian di bidang kinesik telah
mengidentifikasi lima jenis gerakan utama yang digunakan untuk menyampaikan
pesan, yakni emblem, illustrator, affect displays, regulators, dan adaptors.
Emblem merupakan gerakan tubuh yang langsung membentuk symbol yang setara
dengan symbol verbal, seperti membentuk lingkaran dengan jari jempol dan
telunjuk sebagai simbol “OK“, dan membentuk huruf “V” dengan telunjuk dan jari
tengah sebagai symbol “victory”. Illustrator berfungsi memperkuat pesan
verbal yang disertainya. Sebagai contoh, untuk merujuk sesuatu yang ada
disebelah kiri, dia dapat menggerakkan tangan, atau kepala, atau tubuh kearah
kiri. Afect display merpakan gerakan wajah atau tangan, atau anggota
tubuh lain yang digunakan untuk menyampaikan pesan emosional, seperti tersenyum
untuk menunjukkan rasa puas, atau mengacungkan tinju ke udara untuk menunjukkan
tekad atau menantang orang lain. Regulator merupakan gerakan yang
digunakan untuk memonitor, mengkoordinasi, mengontrol, atau mempertahankan
jalan pembicaraan. Anggukan kepala, misalnya, bisa bermakna agar lawan bicara
meneruskan komentarnya. Adaptor merupakan gerakan yang digunakan untuk
memuaskan kebutuhan personal, seperti menggarut kulit tangan yang gatal atau
menyingkirkan rambut dari pelupuk mata.
Pesan
postural berkenaan dengan seluruh anggota tubuh. Menurut Mehrabian (dalam
Rahmat, 2005: 290), terdapat tiga makna yang dapat disampaikan postur: immediacy,
power, dan responsiveness. Immediacy adalah ungkapan kesukaan
atau ketidaksukaan terhadap individu lain. Tubuh yang dicondongkan kearah lawan
bicara menunjukkan kesukaan dan penilaian positif. Power digunakan untuk
mengungkapkan status yang lebih tinggi pada diri komunkator. Responsiveness
merupakan gerakan keseluruhan tubuh yang digunakan untuk menunjukkan respon
atau reaksi terhadap komunikator. Orang yang tidak bergeming meski telah diajak
bicara menunjukkan sikap enggan dan tidak responsif.
Tabel 2: Jenis Hubungan berdasarkan Jarak Proksemik
Jenis Jarak
|
Jarak
|
Contoh
|
Intim
|
0-16” (Fase Dekat)
|
Pasangan yang berpelukan
|
16-18” (Fase Jauh)
|
Ibu & anak membaca buku
bersama; sahabat dekat yang membicarakan suatu rahasia.
|
|
Personal
|
18””-30” (Fase Dekat)
|
Orang tua & anak
membicarakan sesuatu
|
30”-4’ (Fase Jauh)
|
Sekelompok teman mengobrol
sambil minum kopi.
|
|
Sosial
|
4’-7’” (Fase Dekat)
|
Obrolan teman sekerja,
pembicaraan bisnis yang impersonal.
|
7’-12’ (Fase Jauh)
|
Diskusi bisnis yang formal,
mengambil jarak agar bisa konsentrasi membaca.
|
|
Publik
|
12’-25’ (Fase Dekat)
|
Dosen mengajar di kelas
|
25’ atau lebih (Fase Jauh)
|
Pidato dalam kampanye di ruang
terbuka
|
Pesan
proksemik dibentuk melalui pengaturan jarak dan ruang. Pada umumnya, pengaturan
jarak ini memperlihatkan keakraban para komunikan (Liliweri, 2003: 99). Hall
(dalam Devito, 2002: 141-142) membedakan empat macam jarak yang digunakan orang
Amerika yang menunjukkan tipe keakraban hubungan anatar komunikan dan jenis
komunikasi yang sedang mereka lakukan: intim, personal, social, dan publik.
Secara lebih spesifik, jenis-jenis jarak itu diuraikan dalam table 2 di atas.
Pesan
artifaktual diungkapkan melalui penampilan dan penggunaan barang-barang buatan
manusia, seperti pakaian, perhiasan, kosmetik, penggunaan warna, dan dekorasi
serta perabotan ruangan. Makna pesan artfaktual sangat tergantung pada
kebudayaan penggunanya. Pakaian, kosmetik dan perhiasan-perhiasan yang
dikenakan mengungkapkan pesan-pesan tentang status si pemakai. Warna
menyampaikan makna yang berbeda-beda dalam kebudayaan yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, di Cina, warna merah menandakan kesejahteraan dan kelahiran
kembali dan digunakan untuk pesta-pesta dan perayaan-perayaan sukacita; di
Prancis dan Inggris, bermakna kejantanan; di beberapa Negara di Afrika, kutukan
atau kematian; di Jepang kemarahan dan mara bahaya. Ruang tamu yang dilengkapi
dengan perabotan mahal biasanya dimaksudkan sebagai cermin prestise pemilik
rumah.
Pesan
paralinguistik dibentuk oleh nada, kualitas suara, volume, kecepatan, ritme
yang digunakan ketika berbicara, dan berdiam diri. Nada suara dapat
mengungkapkan gairah, ketakutan, kesedihan, kesungguhan, atau kasih sayang.
Volume suara dapat menunjukkan kemarahan atau penegasan. Berdiam diri digunakan
dengan cara yang beragam dalam budaya yang berbeda, seperti menyediakan waktu
untuk berpikir, menyembunyikan rasa cemas, mencegah komunikasi, atau
menunjukkan ekecewaan.
Pesan
sentuhan dan penciuman termasuk bidang yang masih sangat jarang diteliti.
Padahal kedua jenis pesan ini termasuk jenis komunikasi manusia yang paling
primitif. Menurut Devito (2002: 146-147) terdapat lima jenis makna yang diungkapkan
lewat sentuhan: untuk mengungkapkan perasaan positif, untuk menunjukkan niat,
member dorongan (semangat), mengucapkan selamat tinggal/selamat jalan, atau
dalam rangka melakukan pekerjaan tertentu, seperti menuntun seseorang keluar
dari mobil. Wewangian digunakan untuk mengirimkan pesan ketertarikan, cita
rasa, memori dan identifikasi tentang hal-hal ertentu.
C. Pesan
dan Makna
Paparan
tentang pesan verbal dan nonverbal di atas, diharapkan dapat menjadi landasan
yang memadai untuk membahas apa yang dimaksud dengan makna dan bagaimana makna
disalurkan melalui pesan oleh komunikator kepada komunikate. Untuk tujuan itu
berikut ini diuraikan karakteristik makna dan pesan yang diadaptasi dari
penjelasan Devito (1995: 176-186).
a. Karakteristik
Makna
1. Makna
ditentukan oleh orang
Makna
tidak hanya ditentukan oleh pesan (baik verbal, nonverbal, atau keduanya)
tetapi juga oleh interaksi pesan-pesan itu dan pikiran serta perasaan
komunikate. Ketika berkomunikasi, komunikate tidak hanya ‘menerima’ makna
tetapi ‘menciptakan’ makna. Oleh karena itu, pemahaman atas suatu makna tidak
dapat dilakukan hanya dengan menganalisis pesan, tetapi juga dengan memahami
pengirimnya. Sebagai contoh, makna berupa pujian yang menyatakan seseorang
berotak cerdas cenderung dimaknai sebagai penghinaan bila hal itu disampaikan
ketika orang tersebut baru mengetahui dia gagal dalam sebuah ujian.
2. Makna
yang disampaikan lewat pesan verbal dan nonverbal tidak lengkap
Penyampaian
pikiran atau perasaan dilakukan komunikator dengan menggunakan seperangkat
simbol. Pada dasarnya simbol-simbol itu mewakili hanya sebagian dari totalitas
pikiran atau perasaan yang ngin disampaikan. Jika pikiran atau perasaan itu
harus diungkapkan hingga detil yang paling kecil, dibutuhkan waktu yang sangat
panjang. Akibatnya, komunikasi akan berlangsung dalam waktu yang sangat lama
dan membosankan.
Karena
makna yang diterimanya dari orang lain bukan makna yang utuh, setiap komunikate
hanya dapat mengestimasi makna tersebut berdasarkan pesan yang diterima dengan
menggunakan pikiran dan perasaannya sendiri.
3. Makna
bersifat unik
Karena
makna ditentukan oleh pesan yang diterima dan pikiran serta perasaan
komunikate, orang yang berbeda tidak pernah menginterpretasi sebuah pesan
dengan makna yang sama. Bahkan, karena setiap individu berubah, pesan yang
diterima oleh seseorang pada saat yang berbeda akan diinterpretasikan dengan
makna yang berbeda. Pesan “I love you” yang diterima pemuda berusia 20 tahun
dari pacarnya, misalnya, akan diberi makna yang berbeda oleh orang tersebut
ketika dia berusia 50 tahun.
4. Makna
mencakup makna denotatif dan konotatif
Makna
denotatif adalah definisi objektif dari kata atau pesan nonverbal dan bersifat
universal. Makna konotatif merupakan makna subjektif dan bersifat emosional.
Anggukan kepala yang normal, yang digunakan untuk merespon pertanyaan “Kamu
setuju?” mengungkapkan makna denotatif. Namun bila anggukan kepala itu disertai
dengan kedipan mata atau senyuman sehingga terkesan tidak biasa, makna yang
terungkap lebih cenderung bersifat konotatif.
5. Makna
harus didasarkan pada konteks
Kata
atau tingkah nonverbal yang sama bisa mengungkapkan makna yang sangat berbeda
bila digunakan dalam konteks yang berbeda. Ugkapan “Apa kabar?” yang
disampaikan ketika berpapasan dengan seorang teman bermakna “Halo”. Tapi bila
ungkapan itu disampaikan ketika mengunjungi teman yang sakit, makna yang
terunkap adalah “Sudah tambah sehat?”. Contoh lain, meninju meja pada saat
melakukan debat di parlemen mengungkapkan ketidaksetujuan pada isu yang
dibicarakan. Akan tetapi, bila ekspresi nonverbal yang sama dilakukan seseorang
begitu mendengar kabar kematian seorang teman akrabnya, hal itu bermakna
kesedihan yang mendalam.
b. Karakteristik
Pesan
Disamping
karakteristik makna, pemahaman tentang karakteristik pesan juga sangat
dibutuhkan sebagai landasan untuk mengetahui bagaimana makna disalurkan melalui
pesan oleh komunikator kepada komunikate. Berikut ini merupakan uraian tentang
lima karakteristik pesan yang diadaptasi dari penjelasan Devito (1995:
178-186). Pemahaman yang baik tentang bagaimana makna disalurkan melalui pesan
oleh komunikator kepada komunikate diharapkan dapat memampukan kita mengontrol
pesan yang kita sampaikan kepada orang lain.
1. Pesan
berbentuk paket
Pada
saat berkomnikasi, seluruh bagian sistem komunikasi—alat-alat ucap dan
bagian-bagian tubuh yang mengungkapkan pesan nonverbal—biasanya bekerjasama
untuk menyampaikan suatu kesatuan makna (unified meaning). Ketika
seseorang mengungkapkan kemarahan dengan kata-kata, getaran dan volume suara,
ekspresi wajah, sorot mata, dan sikap tubuhnya juga memancarkan pesan kemarahan
itu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pesan selalu diungkapkan dalam satu paket
gabungan antara unsur-unsur verbal dan nonverbal. Paket pesan ini biasanya
dianggap sebagai hal yang wajar sehingga tidak begitu diperhatikan komunikate kecuali
dia mendeteksi adanya double-bind messages, atau kontradiksi antara
pesan verbal dan pesan nonverbal yang digunakan. Respon yang diberikan seorang
suami kepada istrinya yang bertanya, “Baju baruku ini cantik, nggak, pa?”
(sambil berputar-putar di depan cermin) dengan mengatakan, “Ya, cantik sekali!”
(tapi tetap asik membaca Koran dan tidak menoleh sedikitpun) merupakan sebuah
contoh pesan double-bind. Dalam kasus ini, meskipun pesan verbal yang
disampaikan bersifat positif, pesan nonverbalnya bersifat negatif. Mendeteksi
pesan-pesan yang kontradiktif itu, secara otomatis akan mendorong komunikate
untuk mempertanyakan kredibilitas dan ketulusan komunikator.
Pesan
double-binding disebabkan oleh niat untuk mengkomunikasikan dua perasaan
atau emosi sekaligus (Beier dalam Devito, 1995: 180). Dalam kasus respon suami
di atas, sebagai contoh, sang suami berniat menyampaikan persetujuaannya bahwa
baju itu cantik, namun pada saat yang sama dia juga ingin mengungkapkan
kekesalannya karena sang istri terlalu sering membeli baju baru, atau karena
hal-hal lain.
2. Pesan
dibentuk dengan menggunakan kaidah tertentu
Setiap
pesan yang dibentuk dan diungkapkan dengan menggunakan kaidah-kaidah tertentu.
Pesan verbal dibentuk dan digunakan dengan mengikuti aturan-aturan gramatika
dan pragmatik yang berlaku dalam bahasa itu. Pesan nonverbal juga dibentuk dan
diungkapkan berdasarkan seperangkat norma atau peraturan yang menggariskan
tingkah-laku nonverbal apa yang sesuai, diizinkan, atau diharapkan dalam
situasi sosial tertentu. Karena norma yang berlaku dalam setaip masyarakat
berbeda-beda, pesan nonverbal tertentu mungkin saja mengungkapkan makna yang
berbeda-beda. Daftar berikut menjelaskan makna beberapa ungkapan nonverbal yang
dianggap tabu dalam beberapa budaya yang berbeda.
- Mengedipkan mata dianggap tidak sopan di
Taiwan.
- Melipat kedua tangan di atas dada dianggap
tidak terhormat di Fiji.
- Melambaikan tangan dianggap kasar atau
vulgar di Nigeria dan Yunani.
- Menaikkan jari jempol dianggap kasar di
Australia.
- Di
Mesir, mendempetkan kedua jari telunjuk berarti ada pasangan sedang tidur
bersama atau si komunkator mengajak komunikate tidur bersama.
- Menunjuk
dengan jari telunjuk dianggap tidak sopan di beberapa negara Timur Tengah.
- Membungkukkan
tubuh tidak serendah tuan rumah di Jepang mengungkapkan sang tamu merasa
lebih superior.
3. Pesan
disampaikan dalam tingkat kelangsungan yang variatif
Sebagian
pesan disampaikan secara langsung dan sebagian lagi secara tidak langsung.
Pesan langsung ditandai oleh adanya pernyataan langsung mengenai preferensi
atau keinginan komunikator, sedangkan dalam pesan tidak langsung si pembicara
berupaya menyuruh pendengarnya mengatakan atau melakukan sesuatu tanpa
menyatakannya secara eksplisit. Salah satu contoh pesan langsung adalah ketika
seseorang melirik arloji untuk menyatakan dia harus segera pergi.
Pesan
tidak langsung biasanya digunakan untuk menyatakan sebuah keinginan tanpa
terkesan memaksa atau untuk meminta pujian dengan cara yang sopan. Akan tetapi,
pesan tidak langsung juga bisa menimbulkan beberapa resiko, yakni
kesalahpahaman atau ketidakjelasan. Bahkan, berbeda dengan pesan langsung yang
memberi kesan terbuka dan jujur, pesan tidak langsung kadang-kadang member
kesan tidak jujur dan manipulatif.
4. Pesan
bervariasi dalam tingkat kepercayaan
Terdapat
dua alasan mengapa komunikate cenderung lebih mempercayai makna yang terungkap
melalui pesan nonverbal ketika dia mendeteksi konflik antara pesan verbal dan
nonverbal yang dikirim komunikator. Pertama, pesan verbal lebih mudah
dipalsukan. Kedua, pesan nonverbal terbentuk diluar kendali kesadaran individu.
Sinyal
nonverbal biasanya dapat digunakan untuk menebak apakah pembicara berbohong
atau tidak. Sinyal-sinyal itu juga sangat membantu untuk mengungkapkan
kebenaran yang dicoba ditutup-tutupi oleh kebohongan yang dideteksi. Beberapa
contoh sinyal yang menunjukkan seseorang sedang berbohong adalah: sering
terlihat ragu-ragu dan lebih banyak menggunakan jeda yang panjang; bnyak
melakukan kesalahan pengucapan, jarang tersenyum, merespon dengan
jawaban-jawaban singkat, seperti “ya” dan “tidak”; banyak menggunakan gerakan
tubuh yan tidak perlu; sering mengalihkan pandangan dari pendengar dalam waktu
yang cukup lama (Devito, 1995: 185).
5. Pesan
dapat digunakan dalam metakomunikasi
Seperti
telah dijelaskan pada bagian Tinjauan Psikologis Terhadap Peran Pesan Nonverbal
di atas, pesan nonverbal memiliki fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan
untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Pesan metakomunikatif
berfungsi memberikan informasi tambahan untuk memperjelas maksud. Hal itu
dilakukan dengan memberdayakan fungsi aksentuasi, repetisi, subsitusi,
kontradiksi, dan komplemen pesan nonverbal bagi pesan verbal.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam
komunikasi interpersonal yang dilakukan secara tatap muka, makna dikirim oleh
komunikator melalui pesan verbal dan noverbal. Seacara terpisah, pesan verbal
lebih sesuai digunakan untuk menyampaikan fakta, ilmu, atau keadaan, sedangkan
pesan nonverbal lebih potensial untuk menyatakan perasaan. Dalam tataran
praktik, komunikator cenderung menggunakan kedua jenis pesan itu secara
berdampingan. Akibatnya, Untuk menangkap makna yang disampaikan, komunikate
harus mengolah kedua jenis pesan dengan melibatkan pikiran dan perasaanya. Oleh
karena itu, makna yang diterima komunikate pada hakikatnya merupakan hasil
interaksi antara pesan verbal dengan pesan noverbal dan antara kedua pesan itu
dengan pikiran dan emosi komunikate.
Pesan
nonverbal dianggap lebih terpercaya daripada pesan verbal. Jika terdapat
ketidakcocokan makna diantara keduanya, makna yang dikirim melalui pesan
nonverbal dianggap lebih akurat. Selain itu, pesan nonverbal dapat digunakan
untuk memeriksa validitas dan kebenaran pesan verbal. Sehubungan dengan itu,
untuk meningkatkan kemampuan berkomunkasi, setiap individu perlu meningkatkan
keterampilannya dalam menginterpretasi dan mengontrol penggunaan pesan verbal
maupun nonverbal. Hal ini memang tidak mudah dilakukan mengingat bahwa
mayoritas pesan nonverbal sangat ditentukan oleh kebudayaan. Setiap pesan yang
diterima harus diinterpretasi dalam konteks situasi dan budaya yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Beebe, Steven
A., Beebe, Susan J. and Redmon Mark V. 1999. Interpersonal Communication:
Relating to Others. Boston: Allyn and Bacon.
Devito, Joseph
A. 1995. The Interpersonal Communication Book. New York: Harper Collins
College Publishers.
_______ 2002. Human
Communication, The Basic Course 9/E (Sample Chapter). Diunduh pada tanggal
20 Oktober 2008 dari: http://www.ablongman.com/devito.
Huda, Nuril.
1999. “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Asing”. Makalah, dipresentasikan pada
Seminar Politik Nasional, Cisarua, Bogor, 9-11 November 2009.
Krauss, Robert
M. 2002. “The Psychology of Verbal Communication”. An article published in the International
Encyclopedia of the Social and Behavioral Science, 2002.
Liliweri, Alo.
2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Miller, George
A. 1974. Psychology and Communication.Washington D.C.: Voice of
America.
Mulyana, Deddy.
2007. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rahmat,
Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar asalkan dengan bahasa yang sopan..ok??