BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sebuah praktek ketatanegaraan
tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi
pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter,
sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada
ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya
pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan
diantara lembaga pemegang kekuasaan
Dalam prinsip demokrasi ada yang namanya
trias politika,
yaitu pembagian kekuasaan didalam sebuah pemerintahan untuk mencapai sebuah
kestabilan Negara. Ketiga unsur tersebut adalah Legislatif selaku pembuat UU,
Eksekutif
selaku pelaksana UU dan Yudikatif sebagai pengawas pelaksanaan UU. Konsep yang
dibangun Montesquieu itu sebenarnya sangat bagus. Legislatif
sebagai perwakilan rakyat membuat UU yang mana UU itu hakikatnya adalah kemauan
rakyat. Kemudian untuk melaksanakan kemauan rakyat itu dibutuhkan sebuah
panitia agar kemauan rakyat itu bisa berjalan. Fungsi itulah yang yang
dijalankan eksekutif
atau yang biasa kita sebut pemerintah [meskipun penamaan pemerintah itu tidak
terlalu tepat karena berkesan yang memerintah, padahal pemerintah itu
sebenarnya pelayan rakyat -red]. Untuk mengawasi apabila pelaksanaan
kemauan rakyat dibentuklah yudikatif. Jadi dengan demikian sesuai prinsip demokrasi
dimana vox populi vox dei [suara rakyat adalah suara Tuhan] maka
rakyat benar-benar dimanja dengan triaspolitika ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Trias Politica
Pemisahan kekuasaan juga disebut
dengan istilah trias politica adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan
berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas,
mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak.
Pemisahan kekuasaan
merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan agar tidak ada
penyelahgunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif dan yudikatif
Pemisahan kekuasaan
juga merupakan suatu prinsip normative bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya
tidak diserahkan kepada orang yang sama, untuk mencegah penyalahugunaan kekuasaan
oleh pihak yang berkuasa. Contoh negara yang menerapkan pemisahan kekuasaan ini
adalah Amerika Serikat.
B. Konsep-konsep Trias Politica
Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut
diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di
suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik
melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan
kepada 3 lembaga berbeda : Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif
adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang
melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi
jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan
undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun
perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.
Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut,
diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi
pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and
balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian,
jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa
halangan.
Pada masa lalu, bumi dihuni masyrakat pemburu primitif yang biasanya
mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang
kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan
fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara
yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi
oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah
pada dewan-dewan negara-kota Yunani. Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan
Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di
Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang
mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah
Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota
tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan
dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan
absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang
terpisah di keduanya.
Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000-1500 M), kekuasaan politik
menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum
bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu dilanda perang saudara akibat sengketa
kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini. Sebagai koreksi atas
ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di
kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang bertujuan
melakukan pemisahan kekuasaan.
Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes,
merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar
bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan. Meski
pemikiran mereka saling bertolak-belakang, tetapi tinjauan ulang mereka atas
relasi kekuasaan negara cukup berharga untuk diperhatikan.
Untuk keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan gambaran mengenai 2
pemikiran intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika.
Pertama adalah John Locke yang berasal dari Inggris, sementara yang kedua
adalah Montesquieu, dari Perancis.
· John
Locke (1632-1704)
Pemikiran John Locke mengenai Trias
Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two
Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke
menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah "bekerja (mengubah alam dengan
keringat sendiri)" dan "memiliki milik (property)." Oleh sebab
itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga
melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya
tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini ?
Dalam masa ketika Locke hidup, milik
setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi rentan ketika
diperhadapkan dengan raja. Seringkali raja secara sewenang-wenang melakukan
akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, tidak
mengherankan kalangan bangsawan kadang melakukan perang dengan raja akibat
persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.
Negara ada dengan tujuan utama
melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi
Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah,
kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke,
kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan
Federatif
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan
untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam
undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai.
Untuk situasi 'damai' tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya.
Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat
secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam
kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke
adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
Eksekutif adalah kekuasaan untuk
melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di
tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri
undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
Federatif adalah kekuasaan menjalin
hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip
dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk
membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan
damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan
kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris, sebagai kekuasaan eksekutif.
Dari pemikiran politik John Locke dapat
ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan
raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum
sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran
Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
· Montesquieu
(1689-1755)
Montesqueieu (nama aslinya Baron
Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya
John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the
Laws, yang terbit tahun 1748.
Sehubungan dengan konsep pemisahan
kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : "Dalam tiap pemerintahan
ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai
hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif
yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil.
Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau
magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia
membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan
umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia
menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang
akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif
negara."
Dengan demikian, konsep Trias Politika
yang banyak diacu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah Konsep yang
berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep ini terus mengalami persaingan
dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul
Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).
1.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Legislatif
Legislatif adalah struktur politik yang
fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat),
ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui
mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari
partai-partai politik.
Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan
dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan
legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work, Supervision and
Critism Government, Education, dan Representation.
Lawmaking adalah fungsi membuat
undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang
Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru
Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat
oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.
Constituency Work adalah fungsi badan
legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif
biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja,
orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari
sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk
melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia
bekerja sebagai anggota dewan. Berat bukan ?
Supervision and Critism of Government,
berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang
oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi
ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara
dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada
presiden/perdana menteri.
Education adalah fungsi DPR untuk
memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus
memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat
dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat
mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab,
hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar
televisi, surat kabar, ataupun internet.
Representation, merupakan fungsi dari
anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di
Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih.
Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks
negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita
bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh
sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur
gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang
kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari
masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka isu politik.
2. Fungsi-fungsi Kekuasaan Eksekutif
Eksekutif adalah kekuasaaan untuk
melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan
eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party
chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief
legislators.
Eksekutif di era modern negara biasanya
diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala
negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu
negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana
Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala
negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu
kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.
Head of Government, artinya adalah
kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan
eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian
dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional,
menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya.
Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara
dengan kepala pemerintahan.
Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.
Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.
Party Chief berarti seorang kepala eksekutif
sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi
sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem
pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan
dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu.
Namun, di negara yang menganut sistem
pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian. Di masa
pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan hal tersebut. Gus Dur berasal
dari partai yang hanya memenangkan 9% suara di Pemilu 1999, tetapi ia menjadi
presiden. Selain itu, di sistem pemerintahan parlementer, terdapat hubungan
yang sangat kuat antara eksekutif dan legislatif oleh sebab seorang eksekutif
dipilih dari komposisi hasil suara partai dalam pemilu. Di sistem presidensil,
pemilu untuk memilih anggota dewan dan untuk memilih presiden terpisah.
Commander in Chief adalah fungsi
mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan
tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun
tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang
terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun
perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer.
Sekali lagi, ini pernah terjadi di era
Gus Dur, di mana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak
digubris pihak yang terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang
banyak terjadi di masa pemerintahannya.
Chief Diplomat, merupakan fungsi
eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara
di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub
kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain.
Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif
adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat,
juga menerima duta besar dari negara lain.
Dispenser of Appointment merupakan
fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau
lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden,
menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat
oleh presiden atau perdana menteri.
Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif
untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan
membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara
dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang
oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui
oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.
3. Fungsi-fungsi Kekuasaan
Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang
menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran
atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar
masalah hukum berikut :
Criminal law (petty offense,
misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan
anak); Constitution law (masalah seputan penafsiran kontitusi); Administrative
law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian
internasional).
·
Criminal Law penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia
sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan
Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional).
·
Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam
biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.
·
Constitution Law kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu,
kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau
keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
·
Administrative Law penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya
kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya. Sementara itu,
·
International Law tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara
melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
C. Konsep Trias Politica di Indonesia
Sejak memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, konstitusi
Indonesia terus berproses dalam rangka mewujudkan kehidupan yang demokratis.
Undang- Undang Dasar 1945 (naskah asli), Konstitusi Republik Indonesia Serikat
1949, Undang- Undang Dasar Sementara 1950 dan Undang- Undang Dasar 1945
(amandemen ke- empat) merupakan hasil upaya untuk semakin mendekatkan diri
kepada demokrasi. Ditinjau dari asal kata, demokrasi berarti “rakyat berkuasa”
atau “government or rule by the people”. Kata Yunani demos
berarti “rakyat” dan kratos/ kratein berarti “kekuasaan/ berkuasa”.
Dalam demokrasi dikenal konsep Rechstaat (negara hukum). Rechtstaat
(negara hukum) diartikan sebagai negara yang penyelenggaraan pemerintahannya
berdasarkan prinsip- prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah.
Menurut Frederik Julius Stahl, salah satu unsur dalam konsep Rechstaat
adalah negara didasarkan kepada Trias Politica (pemisahan kekuasaan
negara atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial).
Menurut Carles de Secondat Baron de Labriede et de Montesquieu:
a. Kekuasan Legislatif adalah sebagai pembuat undang-
undang;
b. Kekuasaan Eksekutif adalah sebagai pelaksana undang-
undang;
c. Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk menghakimi.
Dalam sistem ketata negaraan Indonesia pasca Amandemen ke- empat Undang-
Undang dasar 1945 kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain itu Presiden juga
mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang- undang dan turut serta dalam
pembahasan rancangan undang- undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kekuasaan Eksekutif dilaksanakan oleh Presiden. Kekuasaan Yudikatif
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas
kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system
(sistem pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing-
masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system
merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum
dalam rangka mewujudkan demokrasi.
Dalam konstitusi Indonesia, fungsi kontrol Legislatif terhadap Eksekutif
meliputi persetujuan terhadap kekuasaan Presiden untuk menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; review terhadap Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- Undang (perpu) yang dibuat oleh Presiden,
pembahasan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) bersama
Presiden. Selain fungsi kontrol tersebut, DPR juga dapat mengajukan usul kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden karena
melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, perbuatan tercela mau pun bila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden. Dalam pelaksanaan fungsi kontrol tersebut peran DPD sangat
minim, yaitu sebatas “dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama”. DPD tidak berwenang secara langsung untuk menindak
lanjuti hasil pengawasan tetapi hanya sebatas menyampaikan hasil pengawasannya
itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dalam
menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan Yudikatif (MA dan MK), DPR
berwenang melakukan penyaringan terhadap para calon hakim agung dan mengajukan
tiga dari sembilan orang hakim konstitusi.
Di Amerika Serikat sebagai kiblat konsep checks and balances system,
dalam hal pelaksanaan fungsi kontrol kekuasaan Eksekutif terhadap Legislatif,
Presiden diberi kewenangan untuk memveto rancangan undang- undang yang telah
diterima oleh Congress (semacam MPR), akan tetapi veto tersebut dapat
dibatalkan oleh Congress dengan dukungan 2/3 suara dari House of Representative
(semacam DPR) dan Senate (semacam lembaga utusan negara bagian). Dalam
Undang- Undang Dasar 1945 tidak terdapat ketentuan mengenai hak veto tersebut
tetapi pembahasan setiap rancangan undang- undang dilakukan oleh DPR dan
Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Selain hak pembahasan dan
persetujuan bersama, Presiden juga diberikan hak untuk mengajukan rancangan
undang- undang kepada DPR. Keterlibatan Presiden sebagai pemegang kekuasaan
Eksekutif dalam kegiatan membuat undang- undang membuatnya juga memegang
kekuasaan Legislatif sehingga Presiden mempunyai kekuasaan ganda. Hal tersebut
tidak konsisten dengan asas Trias Politica (pemisahan kekuasaan). Sejauh
ini di negara- negara yang menganut sistem presidensial, kekuasaan Legislatif
diserahkan kepada parlemen, sedangkan Presiden mempunyai hak veto. Diantara
negara- negara tersebut hanya konstitusi Indonesia dan Puerto Rico yang
memberikan hak legislasi bersama parlemen kepada Presiden. Sedangkan dalam
fungsi kontrol tehadap kekuasaan Yudikatif, Presiden diberikan kewenangan untuk
menyetujui dan menetapkan calon hakim agung sebagai hakim agung, selain itu
Presiden juga diberikan kewenangan untuk mengajukan tiga dari sembilan orang
hakim Konstitusi dan menetapkan para hakim Konstitusi tersebut.
Dalam rangka fungsi pengawasan kekuasaan Yudikatif terhadap kekuasaan
Eksekutif, MA diberikan kewenangan untuk menguji peraturan perundang- undangan
yang kedudukannya dibawah undang- undang terhadap undang- undang. Berdasarkan
Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, bentuk- bentuk dan tata- urutan perundang- undangan meliputi:
·
Undang- Undang Dasar (UUD) dan perubahan
UUD.
·
Undang-
Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perpu).
·
Peraturan Pemerintah.
·
Peraturan
Presiden.
·
Peraturan Daerah.
Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, dalam praktik disamping peraturan
perundang- undangan tersebut masih banyak bentuk peraturan perundang- undangan
lain seperti Peraturan Menteri, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Mahkamah
Agung, Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan dan Keputusan Badan Pemeriksa
Keuangan, dll. Kewenangan tersebut diberikan kepada MA karena Indonesia belum
membentuk MK. Dengan dibentuknya MK sebagai “pengawal konstitusi” dan untuk
memperingan tugas MA maka sebaiknya kewenangan menguji MA diserahkan kepada MK.
Hal tersebut juga supaya semua peraturan perundang- undangan dapat diuji
terhadap undang- undang dasar sehingga dapat terwujud supremasi konstitusi.
Selain hal tersebut, MK juga diberikan kewenangan untuk memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang
Dasar.
Dalam rangka melaksanakan konsep checks and balances yang lazim, sebaiknya
Presiden tidak boleh turut bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam
pembahasan rancangan undang- undang dan hak Presiden untuk mengajukan rancangan
undang- undang sebaiknya dihapus. Sebagai mekanisme kontrol terhadap Legislatif,
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif diberikan hak veto atas rancangan
undang- undang yang akan disahkan Legislatif. Perubahan tersebut wajib
dicantumkan dalam amandemen undang- undang dasar.
BAB III
P E N U T
U P
Seiring dengan
perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan kehidupan bernegara mengalami banyak
perubahan. Konsep negara mulai mengalami pergeseran yang pada awalnya negara
merupakan negara yang berdasarkan pada kekuasan beralih pada konsep negara yang
mendasarkan atas hukum (rechtstaat). Para ahli sepakat bahwa salah satu
ciri dari sebuah negara hukum adalah adanya konsep pembatasan kekuasaan.
Pembatasan kekuasaan menjadi syarat mutlak sebuah negara hukum yang demokratis.
Adanya pembatasan kekuasaan sebagai perwujudan prinsip konstitusionalisme yang
melindungi hak-hak rakyat.
Konsep pemisahan
kekuasaan lahir dari keinginan membatasi kekuasaan para raja yang bersifat
absolut di Eropa. Ide mengenai pembatasan kekuasaan ini dihembuskan oleh John
Locke dan Montesquieu. Montesquieu menggambarkan konsep pemisahan kekuasaan
(Trias Politica) yang berlaku di Inggris meliputi kekuasaan Raja (eksekutif),
Parlemen (legislatif), dan Majelis (judikatif).
Montesquieu
menilai kekuasaan raja sangat tumpang tindih dan dapat melakukan kewenangan
apapun. Sehingga konsep pemisahan kekuasaan menurut hematnya harus dilaksanakan
secara tegas, kaku, dan mutlak. Pandangan ini sesungguhnya bukan untuk
membatasi kekuasaan secara mutlak melainkan mencegah adanya kesewenang-wenangan
yang dilakukan oleh salah satu cabang kekuasaan.
Pemikir Inggris
John Locke mengemukakan konsepnya mengenai pemisahan kekuasaan dalam bukunya Two
Treaties on Civil Government. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi menjadi
tiga yakni: kekuasaan legislatif (membuat peraturan undang-undang), kekuasaan
eksekutif (melaksanakan undang-undang yang di dalamnya termasuk kekuasaan
mengadili), dan kekuasaan federatif (kekuasaan yang meliputi segala tindakan
untuk mengamankan negara).
Istilah yang
digunakan dalam bahasa indonesia sebagai penerjemahan konsep trias politika
adalah pemisahan kekuasaan. Namun jika kita menilik pada pelaksanaan trias
politica sebagai yang dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris ternyata
tiap-tiap kekuasaan tidak dapat terpisah. Akan lebih tepat jika konsep ini
disebut sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power). Sebab tak
ada kekuasaan yang berdiri sendiri. Kekuasaan eksekutif pun memiliki kekuasaan
legislatif maupun judikatif.
Sebagaimana
dinyatakan oleh Kelsen yang hanya melihat pelaksanaan kekuasan dalam pemerintahan
hanya ada dua yakni membentuk undang-undang dan menjalankan undang. Kekuasaan
yang ada tidak dipisahkan melainkan didistribusikan ke tiap-tiap cabang
kekuasaan. Setiap cabang kekuasaan menjalankan tugas dan fungsi masing-masing
tanpa harus menimbulkan absolutisme di tiap cabang. Seperti yang diberlakukan
di Amerika, separation of power antara presiden, supreme court,
dan senat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar asalkan dengan bahasa yang sopan..ok??