Senin, 28 Januari 2013

Artikel Budaya Politik Indonesia



Konsep budaya politik merupakan sebuah upaya sistematik untuk menerapkan pandangan-pandangan psikologi sosial pada kajian politik komparatif. Gabriel Almond, seorang ilmuwan pelopor teori budaya politik pada tahun 1956 menegaskan bahwa “setiap sistem politik itu melekat dalam pola orientasi tertentu terhadap aksi politik…. budaya politik.”[3] Pada karya selanjutnya, Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai “…orientasi politik khusus—sikap-sikap terhadap sistem politik dan berbagai macam bagian dan sikap terhadap peran kedirian dalam sistem tersebut” Pada tahap selanjutnya, Verba mendefinisikan budaya politik sebagai “sistem keyakinan empiris, simbol ekspresif, dan nilai yang mendefinisikan situasi di mana tindakan politik terjadi.”
Konsep budaya politik modern telah menggantikan pandangan yang sudah jamak dipegangi tentang karakter nasional, modal kepribadian dan kebiasaan, serta adat-istiadat dari komunitas politik.[6] Konsep budaya politik mencakup banyak aspek dalam fenomena politik, tradisi politik dan cerita kepahlawanan rakyat, semangat institusi publik, politik kewargaan, tujuan yang diartikulasikan sebuah ideology politik, aturan main politik formal maupun non-formal, stereotip, gaya, moda dan langgam pertukaran politik, dan sebagainya. Namun demikian, konsep ini biasanya diringkas sebagai “pola distribusi orientasi terhadap politik yang dimiliki oleh para anggota komunitas politik.”
Budaya politik sebagai sebuah kerangka kerja analitik sebenarnya sudah tidak lagi mampu mengakomodasi sejumlah perkembangan baru dalam kajian ilmu sosial-politik, seiring dengan semakin kompleksnya perkembangan masyarakat dengan berbagai variabel dan elemennya. Oleh karena itu, budaya politik sebagai kerangka kerja analitik sudah banyak ditinggalkan oleh kebanyakan ilmuwan politik modern, karena ia tidak lagi mampu menjelaskan sebuah komunitas dengan berbagai kompleksitasnya yang tidak lagi bisa dijelaskan melalui perspektif tunggal. Kenyataannya, struktur sebuah masyarakat sangatlah kompleks, dan aspek budaya bukan satu-satunya elemen pembentuk sebuah masyarakat. Tterdapat banyak variabel lain selain budaya yang juga turut membentuk sebuah masyarakat, seperti ekonomi, kepentingan, dan lain sebagainya.
Dalam artikelnya yang berjudul ‘Political Culture’, Pye menyatakan bahwa “jika konsep budaya politik hendak dimanfaatkan secara efektif, ia perlu dilengkapi dengan analisis struktural. Namun demikian, kesulitannya adalah bahwa struktur politik di satu sisi dapat dilihat sebagai produk yang merefleksikan budaya politik, tetapi juga bersifat “given” yang membentuk budaya politik, di sisi lain.”
Tanpa melihat celah-celah kelemahan teoretik dimaksud, budaya politik sebagai kerangka kerja teoretik tetap masih diperlukan guna membedah realitas kehidupan politik di sebuah negara atau masyarakat. Analisis budaya politik terutama bermanfaat ketika kita hendak mengetahui sejauhmana budaya memainkan perannya dalam membentuk perilaku kolektif sebuah komunitas politik; apakah perilaku kolektif tersebut produktif dalam konteks pengembangan masyarakat secara umum, bagaimana budaya politik sebuah masyarakat mengalami transformasi menuju masyarakat yang lebih terbuka, adil dan sejahtera. Dalam konteks inilah, makalah ini tetap memanfaatkan perspektif budaya politik dalam melihat realitas perpolitikan di Indonesia.

Patrimonialisme, Karakteristik Budaya Politik di Indonesia
Salah satu karakteristik budaya politik yang dialami di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah patrimonialisme. Dalam budaya politik semacam ini, pola kekuasaan berjalan di atas prinsip relasi kuasa antara penguasa sebagai patron (baca: pengayom, pelindung atau penjamin kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan) dan rakyat sebagai obyek yang dilindungi, diayomi dan dijamin kenyamanan, keamanan dan kesejahteraannya. Menurut Max Weber, patrimonialisme merupakan pola relasi kekuasaan tradisional antara seorang patron dan client, di mana
“obyek ketaatan terhadap otoritas pribadi yang dia nikmati berpijak pada status tradisional. Kelompok organisasi yang menjalankan otoritas, dalam kasus yang paling sederhana, terutama berdasar pada hubungan loyalitas individu, yang dikembangbiakkan melalui proses pendidikan. Individu yang menjalankan otoritas bukanlah orang yang ‘hebat’, tetapi seorang ‘pemimpin’. Staf administratifnya tidak terdiri dari para pegawai, tetapi pelatih pribadi…. Apa yang menentukan hubungan staf administratif dengan pemimpin bukanlah kewajiban kantor yang bersifat impersonal, tetapi loyalitas individu kepada sang pemimpin.”
Indonesia, sebagai negara berkembang, memiliki akar sejarah patrimonialisme yang cukup kuat, yang oleh David Brown disebut sebagai “neo-patrimonialisme.” Kekuasaan neo-patimonialisme dicirikan oleh ikatan personal antara pimpinan dan anggota organisasi atau lembaga yang dipimpin, bukan ikatan struktural-organisasional. Pola relasi dalam lembaga semacam ini lebih banyak bekerja berdasar atas kesetiaan personal para anggota organisasi, dan bukan kesetiaan terhadap lembaga itu sendiri. Akibatnya, kinerja seorang pegawai di sebuah lembaga sangat ditentukan oleh figur-figur pimpinannya, bukan atas dasar kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai staf.
Sistem relasi dalam kekuasaan semacam ini seringkali disebut sebagai pola relasi patron-client, di mana seorang pemimpin diperlakukan sebagai patron, pelindung atau penjamin kenyamanan hidup bagi anggota masyarakat yang dipimpinnya. Sementara itu, masyarakat menempati peran sebagai client, di mana isu-isu terkait kesejahteraan dan kemalangan sosial berada di tangan sang pemimpin atau patron. Pola relasi semacam ini pada umumnya berkembang biak di sejumlah negara yang memiliki sejarah kerajaan yang kuat, seperti Indonesia, di mana seorang raja diperlakukan sebagai pihak yang dilayani oleh rakyatnya. Raja juga menjadi pusat dari seluruh rangkaian kekuasaan yang berhak menikmati kesejahteraan akibat dari kekuasaan yang digenggamnya itu.
Jika dalam masyarakat tradisional patrimonialisme dicirikan oleh keterpisahan antara raja dari masyarakatnya dalam hal menikmati kesejahteraan dan keamanan sosial, maka dalam masyarakat neo-patrimonialisme seorang pemimpin dan yang dipimpin bersama-sama menikmati kesejahteraan dalam sebuah kekuasaan. Hal ini terjadi karena mobilisasi masyarakat menentukan pola relasi di antara keduanya, di mana dalam masyarakat neo-patrimonial terdapat motif simbiosis mutualisma antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Seorang pemimpin menyediakan kesejahteraan, sementara rakyat yang dipimpin menyediakan loyalitas kepada pemimpinnya. Begitu seorang pemimpin tidak mampu lagi menjamin kesejahteraan kepada rakyatnya, maka yang kedua memutus loyalitas politiknya kepada sang pemimpin. Sebaliknya, begitu rakyatnya tidak lagi memberikan loyalitas kepada pemimpinnya, maka sang pemimpin memutus mata rantai kesejahteraan kepada mereka yang tidak loyal.
Menurut Webber, budaya politik di Indonesia lebih mengarah pada nilai-nilai patrimonial dan, karenanya, jenis sistem politik dan demokrasi yang berkembang adalah sistem politik dan demokrasi patrimonial. Sistem politik jenis ini mengandaikan kondisi di mana para pemegang kebijakan mengeksploitasi posisi mereka hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, bukan kepentingan universal.
Korupsi yang merajalela merupakan manifestasi utama nilai dan praktik budaya politik patrimonial yang telah berurat berakar dalam struktur kesadaran masyarakat Indonesia. Pemerintahan patrimonial, dalam definisi klasik Max Weber, tidak mengenal pemisahan birokratis antara wilayah “private” dan “official”. Penguasa patrimonial mengeksploitasi kekuasaannya seolah-olah ia adalah “hak milik pribadi”, yang tidak dibatasi oleh norma dan peraturan hukum. Kantor dan kegiatan otoritas publik melayani penguasa dan pegawainya, mereka tidak melayani tujuan-tujuan yang impersonal. Praktik patrimonialisme adalah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan atau, dalam bahasa sederhananya, korupsi.
Kerajaan Jawa tradisional yang ada sebelum Belanda menjajah kepulauan Indonesia yang diperintah atas dasar patrimonialisme ala Weber. Para penguasa Jawa memperoleh kesetiaan dari para pegawainya dengan memberi mereka hak atas penghasilan dari tanah yang bisa dieksploitasi secara komersial, tetapi tidak untuk dijual atau dimiliki. Menurut Anderson, patrimonialisme muncul kembali di Indonesia karena ia adalah gaya pemerintahan tradisional pada masa pra-kolonial dan karena juga, dalam kekacauan ekonomi tahun 1950an, birokrasi rasional-legal yang diwariskan oleh Belanda terbukti tidak mampu bertahan secara ekonomi.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pola pemerintahan patrimonialisme mewujud dalam bentuk pemerintahan yang sentralistik dengan sejumlah sayap kelembagaan yang berfungsi sebagai “pengayom” bagi kepentingan masyarakat, namun dengan imbalan kekuasaan atau sumber daya material bagi para pemangku kekuasaan. Istilah “pamong praja” dalam sistem pemerintahan Orde Baru menggambarkan betapa pejabat diasumsikan memiliki fungsi kepengayoman kepada masyarakat luas, namun fungsi tersebut tidak gratis. Di samping menyerahkan loyalitas, masyarakat yang diayomi harus memberikan sejumlah imbalan tertentu sebagai balas budi mereka atas kenyamanan hidup yang sudah dinikmati mereka. Dari sinilah praktik pungutan (liar), pemerasan, percaloan politik, dan semacamnya menemukan akarnya, karena berbagai kenyamanan dan kemudahan yang dinikmati oleh rakyat dikonstruksikan sebagai “tetesan rejeki” (trickle-down effect) dari atas, bukan karena hak yang melekat pada tiap-tiap individu.
Pola patrimonialisme pada masa Orde Baru membentuk semacam piramida kekuasaan yang puncaknya dihuni oleh Suharto sebagai patron tertinggi dari rezim ini, yang di bawahnya ditopang oleh seluruh elemen politik di kantor birokrasi, sayap militer, organisasi sosial-kemasyarakatan dan partai politik. Pembangkangan terhadap sistem politik patrimonial Orde Baru merupakan bentuk resistensi yang akan dilawan oleh rezim penguasa dengan tekanan politik, pemangkasan hak serta peminggiran peran-peran sosial-politik yang seharusnya dinikmati oleh segenap warga negara. Pada kenyataannya, sistem oposisi tidak diperkenankan pada masa ini, karena yang demikian ini bisa mengancam “zona kenyamanan” (comfort-zone) para penguasa beserta pihak-pihak yang turut menopang keberlangsungan rezim Orde Baru. Sinergi elemen-elemen penopang tersebut menjadi mesin politik yang bekerja secara efektif dan masif atas dasar praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), yang keberadaannya menjalar dari tingkat atas (pemerintah pusat) hingga ke dasar piradima kekuasaan (pemerintah propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa), dengan bantuan perangkat birokrasi, militer, hingga tokoh masyarakat dan agama.
Pada masa pasca-Orde Baru, watak dasar politik patrimonial tetap berlangsung, namun dengan format dan baju yang berbeda. Patrimonialisme mengalami metamorfosis menjadi “neo-patrimonialisme,” yang ditandai dengan menyebarnya simpul-simpul kekuasaan ke sejumlah titik yang lebih merata seiring dengan perubahan kebijakan desentralisasi politik. Seolah ingin menikmati kenyamanan ala penguasa Orde Baru, para penguasa lokal memerankan diri sebagai patron bagi komunitas yang dipimpinnya dengan imbalan loyalitas politik dan atau sumber daya ekonomi. Pemeran politik patrimonial bukan lagi terpusat pada individu, tetapi lembaga sosial politik, terutama partai politik (parpol). Slogan-slogan yang menjanjikan kesejahteraan rakyat dibuat untuk mengagregasi dukungan politik untuk memenangi proses kontestasi dalam Pemilu, tetapi individu atau parpol seringkali mengingkarinya setelah yang pertama naik ke tampuk kekuasaan.
Bentuk lain dari pola politik patrimonial adalah digunakannya anggaran negara oleh incumbent yang masih menjabat untuk mendanai kampanye politiknya. Akibatnya, pihak incumbent selalu diuntungkan oleh posisinya yang masih memiliki akses terhadap sumber-sumber ekonomi-politik negara. Di samping itu, politik patrimonialisme dapat mewujud dalam realisasi program pembangunan yang didanai oleh anggaran negara, tetapi diklaim didanai oleh parpol pihak incumbent. Pola politik patrimonial semacam ini jelas akan merugikan bukan saja rakyat banyak sebagai stakeholder utama negara ini, tetapi juga para penantang yang muncul di luar lingkaran kekuasaan.
Praktik politik patrimonialisme, dengan demikian, tidak menguntungkan bangsa dan negara secara umum, karena distribusi berbagai bentuk kenyamanan sosial-politik seperti kesejahteraan, kenyamanan dan keamanan berada di tangan patron-patron politik yang tengah memegang kekuasaan. Ada asumsi bahwa kesejahteraan warga negara berada di tangan penguasa. Di bawah sistem politik semacam ini, pucuk piramida kekuasaan hanya dihuni oleh para penguasa politik yang ditopang oleh struktur kelembagaan modern seperti parpol, dan rakyat hanya menempati dasar piramida kekuasaan.

Catatan Penutup
Tidak ada cara lain untuk mengubah budaya politik patrimonial kecuali dengan membalikkan paradigma beripikir masyarakat bahwa politik kekuasaan bukanlah panggung bermain bagi para elit-penguasa, tetapi sekadar sebagai alat untuk didedikasikan bagi pemenuhan kebutuhan dasar warga negara dalam menciptakan kemaslahatan bersama (publik good). Konsekuensinya, posisi rakyat yang sebenarnya dalam struktur negara modern adalah raja yang harus dilayani oleh para pejabat atau penguasa, bukan sebaliknya; pelayan yang harus melayani segala kebutuhan penguasa seperti dalam hierarkhi sistem politik kuno. Pajak dan retribusi yang dibayarkan oleh rakyat harus dikembalikan dalam bentuk pelayanan prima atas segala kebutuhan masyarakat, bukan malah dinikmati oleh segelintir elit yang bertengger di puncak piramida kekuasaan.
Pada kenyataannya, struktur kelembagaan yang ada belum mampu menjalankan fungsi kepelayanan sebagaimana dikandung dalam negara ideal. Masyarakat masih tetap menjadi bantalan di atas mana segelintir elit menikmati mobilitas vertikal mereka melalui kekuasaan yang digengamnya. Berbagai produk perundangan yang digodok oleh lembaga legislatif juga belum mampu menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, karena lembaga ini lebih disibukkan oleh urusan perebutan dan kontestasi kekuasaan. Partai politik, yang diharapkan bisa berperan sebagai katalisator aspirasi rakyat juga setali tiga uang; sibuk mengagregasi sumber daya ekonomi-politik demi meraih kekuasaan. Dalam sistem politik semacam ini, rakyat tetap saja diposisikan sebagai obyek penderita yang selalu dieksploitasi oleh para elitnya. Rakyat selalu dibutuhkan oleh ara elit kekuasaan pada saat-saat tertentu ketika ada perhelatan politik seperti pemilihan umum. Selepas itu, ketika kekuasaan sudah berada di genggaman, rakyat pun ditinggalkan. Penguasa lebih asyik dengan urusan-urusan individu, keluarga dan parpolnya.
Semestinya, politik adalah mekanisme yang dgunakan untuk mengatur lalu-lintas distribusi kekuasaan. Subyek sekaligus obyek dalam siklus politik modern adalah rakyat, sementara para elit-pejabat berposisi sebagai pelayan mereka. Politik harus diabdikan untuk menggapai tujuan berbangsa dan bernegara, yakni untuk memakmurkan, menyejahterakan dan membahagiakan setiap waga negara. Struktur kelembagaan negara, dengan demikian, berfungsi sebagai problem solver bagi berbagai bentuk persoalan yang muncul di masyarakat.
Dalam sebuah masyarakat modern, kekuasaan haruslah impersonal. Artinya, struktur kelembagaan negara tidak dijalankan atas dasar pola relasi kekerabatan yang bisa menimbulkan bias dan penyelewengan kekuasaan. Loyalitas bawahan dalam sistem semacam ini tidak ditujukan kepada orang-perorang yang berkuasa, tetapi kepada sistem dan struktur kelembagaan negara. Para elit-pejabat hanya menjalankan tugas dan fungsinya dalam rangka merealisasikan terbentuknya negara berbasis pada kemaslahatan bersama.

2 komentar:

Silahkan berkomentar asalkan dengan bahasa yang sopan..ok??