KONSEP MANUSIA DALAM
ISLAM
Manusia
diciptakan Allah Swt. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah,
dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki
berbagai kemampuan. Oleh karena itu, manusia wajib bersyukur atas karunia yang
telah diberikan Allah Swt.
Manusia
menurut pandangan al-Quran, al-Quran tidak menjelaskan asal-usul kejadian
manusia secara rinci. Dalam hal ini al-Quran hanya menjelaskan mengenai
prinsip-prinsipnya saja. Ayat-ayat mengenai hal tersebut terdapat dalam surat
Nuh 17, Ash-Shaffat 11, Al-Mukminuun 12-13, Ar-Rum 20, Ali Imran 59, As-Sajdah
7-9, Al-Hijr 28, dan Al-Hajj 5.
Al-Quran
menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan bermacam-macam
istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah. Hal ini dapat
diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur
kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses
selanjutnya, al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Manusia yang sekarang
ini, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah. Berdasarkan
pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari
rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara permatozoa
dengan ovum.
Ayat-ayat
yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah, umumnya dipahami secara
lahiriah. Hal ini itu menimbulkan pendapat bahwa manusia benar-benar dari
tanah, dengan asumsi karena Tuhan berkuasa , maka segala sesuatu dapat terjadi.
Akan tetapi ada sebagian umat islam yang berpendapat bahwa Adam bukan manusia pertama. Pendapat tersebut didasarkan atas asumsi bahwa:
Akan tetapi ada sebagian umat islam yang berpendapat bahwa Adam bukan manusia pertama. Pendapat tersebut didasarkan atas asumsi bahwa:
Ayat-ayat
yang menerangkan bahwa manusia diciptakan dari tanah tidak berarti bahwa semua
unsur kimia yang ada dalam tanah ikut mengalami reaksi kimia. Hal itu seperti
pernyataan bahwa tumbuh-tumbuhan bahan makanannya dari tanah, karena tidak
semua unsur kimia yang ada dalam tanah ikut diserap oleh tumbuh-tumbuhan,
tetapi sebagian saja. Oleh karena itu bahan-bahan pembentuk manusia yang
disebut dalam al-Quran hanya merupakan petunjuk manusia yang disebut dalam
al-Quran , hanya merupakan petunjuk dimana sebenarnya bahan-bahan pembentuk
manusia yaitu ammonia, menthe, dan air terdapat, yaitu pada tanah, untuk
kemudian bereaksi kimiawi. Jika dinyatakan istilah “Lumpur hitam yang diberi
bentuk” (mungkin yang dimaksud adalah bahan-bahan yang terdapat pada Lumpur
hitam yang kemudian diolah dalam bentuk reaksi kimia). Sedangkan kalau
dikatakan sebagai tembikar yang dibakar , maka maksudnya adalah bahwa proses
kejadiannya melalui oksidasi pembakaran. Pada zaman dahulu tenaga yang
memungkinkan terjadinya sintesa cukup banyak dan terdapat di mana-mana seperti
panas dan sinar ultraviolet.
Ayat yang
menyatakan ( zahir ayat ) bahwa jika Allah menghendaki sesuatu jadi maka
jadilah ( kun fayakun ), bukan ayat yang menjamin bahwa setiap yang dikehendaki
Allah pasti akan terwujud seketika. Dalam hal ini harus dibedakan antara
kalimat kun fayakun dengan kun fa kana. Apa yang dikehendaki Allah pasti terwujud
dan terwujudnya mungkin saja melalui suatu proses. Hal ini dimungkinkan karena
segala sesuatu yang ada didunia juga mengalami prosi yang seperti dinyatakan
antara lain dalam surat al-A’la 1-2 dan Nuh 14.
Jika
diperhatikan surat Ali Imran 59 dimana Allah menyatakan bahwa penciptaan Isa
seperti proses penciptaan Isa seperti proses penciptaan Adam, maka dapat
menimbulkan pemikiran bahwa apabila isa lahir dari sesuatu yang hidup, yaitu
maryam, maka Adam lahir pula dari sesuatu yang hidup sebelumnya. Hal itu karena
kata “tsumma” yang berarti kemudian, dapat juga berarti suatu proses.
Perbedaan
pendapat tentang apakah adam manusia pertama atau tidak, diciptakan langsung
atau melalui suatu proses tampaknya tidak akan ada ujungnya karena
masing-masing akan teguh pada pendiriannya. Jika polemik ini senantiasa
diperpanjang, jangan-jangan hanya akan menghabiskan waktu dan tidak sempat lagi
memikirkan tentang status dan tugas yang telah ditetapkan Allah pada manusia
al-Quran cukup lengkap dalam memberikan informasi tentang itu.
Untuk
memahami informasi tersebut secara mendalam, ahli-ahli kimia, biologi, dan
lain-lainnya perlu dilibatkan, agar dalam memahami ayat-ayat tersebut tidak
secara harfiah. Yang perlu diingatkan sekarang adalah bahwa manusia oleh Allah,
diharapkan menjadi khalifah ( pemilih atau penerus ajaran Allah ). Status
manusia sebagai khalifah , dinyatakan dalam al-baqarah 30. kata khalifah
berasal dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau khalifatan yang berarti
meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau penerus
ajaran Allah. Kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan pemimpin atau
pengganti, yang biasanya dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat islam sesudah
Nabi Muhammad saw wafat , baik pimpinan yang termasuk khulafaurrasyidin maupun
di masa Muawiyah-‘Abbasiah.
Perlu diingat
bahwa istilah khalifah pernah dimunculkan Abu bakar pada waktu dipercaya untuk
memimpin umat islam. Pada waktu itu beliau mengucapkan inni khalifaur
rasulillah, yang berarti aku adalah pelanjut sunah rasulillah. Dalam pidatonya
setelah diangkat oleh umat islam, abu bakar antara lain menyatakan “selama saya
menaati Allah, maka ikutilah saya, tetapi apabila saya menyimpang , maka
luruskanlah saya”. Jika demikian pengertian khalifah, maka tidak setiap manusia
mampu menerima atau melaksanakan kekhalifahannya. Hal itu karena kenyataan
menunjukkan bahwa tidak semua orang mau memilih ajaran Allah.
Dalam
penciptaannya manusia dibekali dengan beberapa unsur sebagai kelengkapan dalam
menunjang tugasnya. Unsur-unsur tersebut ialah : jasad ( al-Anbiya’ : 8, Shad :
34 ). Ruh (al-Hijr 29, As-Sajadah 9, Al-anbiya’ :91 dan lain-lain); Nafs
(al-Baqarah 48, Ali Imran 185 dan lain-lain ) ; Aqal ( al-Baqarah 76, al-Anfal
22, al-Mulk 10 dan lain-lain); dan Qolb ( Ali Imran 159, Al-Ara’f 179, Shaffat
84 dan lain-lain ). Jasad adalah bentuk lahiriah manusia, Ruh adalah daya
hidup, Nafs adalah jiwa , Aqal adalah daya fakir, dan Qolb adalah daya rasa. Di
samping itu manusia juga disertai dengan sifat-sifat yang negatif seperti lemah
( an-Nisa 28 ), suka berkeluh kesah ( al-Ma’arif 19 ), suka bernuat zalim dan
ingkar ( ibrahim 34), suka membantah ( al-kahfi 54 ), suka melampaui batas (
al-‘Alaq 6 ) suka terburu nafsu ( al-Isra 11 ) dan lain sebagainya. Hal itu
semua merupakan produk dari nafs , sedang yang dapat mengendalikan
kecenderungan negatif adalah aqal dan qolb. Tetapi jika hanya dengan aqal dan
qolb, kecenderungan tersebut belum sepenuhnya dapat terkendali, karena
subyektif. Yang dapat mengendalikan adalah wahyu, yaitu ilmu yang obyektif dari
Allah. Kemampuan seseorang untuk dapat menetralisasi kecenderungan negatif
tersebut ( karena tidak mungkin dihilangkan sama sekali ) ditentukan oleh
kemauan dan kemampuan dalam menyerap dan membudayakan wahyu.
Berdasarkan
ungkapan pada surat al-Baqarah 30 terlihat suatu gambaran bahwa Adam bukanlah
manusia pertama, tetapi ia khalifah pertama. Dalam ayat tersebut, kata yang
dipakai adalah jaa’ilun dan bukan khaaliqun. Kata khalaqa mengarah pada
penciptaan sesuatu yang baru, sedang kata ja’ala mengarah pada sesuatu yang
bukan baru,dengan arti kata “ memberi bentuk baru”. Pemahaman seperti ini
konsisten dengan ungkapan malaikat yang menyatakan “ apakah engkau akan
menjadikan di bumi mereka yang merusak alam dan bertumpah darah?” ungkapan
malaikat tersebut memberi pengertian bahwa sebelum adam diciptakan, malaikat
melihat ada makhluk dan jenis makhluk yang dilihat adalah jenis yang selalu
merusak alam dan bertumpah darah. Adanya pengertian seperti itu dimungkinkan, karena
malaikat tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan, sebab yang tahu apa
yang akan terjadi dimasa depan hanya Allah.
Dengan
demikian al-Quran tidak berbicara tentang proses penciptaan manusia pertama.
Yang dibicarakan secara terinci namun dalam ungkapan yang tersebar adalah
proses terciptanya manusia dari tanah, saripati makanan, air yang kotor yang
keluar dari tulang sulbi, alaqah, berkembang menjadi mudgah, ditiupkannya ruh,
kemudian lahir ke dunia setelah berproses dalam rahim ibu. Ayat berserak,
tetapi dengan bantuan ilmu pengetahuan dapat dipahami urutannya. Dengan
demikian, pemahaman ayat akan lebih sempurna jika ditunjang dengan ilmu
pengetahuan.
Oleh karena
al-Quran tidak bicara tentang manusia pertama. Biarkanlah para saintis
berbicara tentang asal-usul manusia dengan usaha pembuktian yang berdasarkan
penemuan fosil. Semua itu bersifat sekedar pengayaan saint untuk menambah
wawasan pendekatan diri pada Allah. Hasil pembuktian para saintis hanya
bersifat relatif dan pada suatu saat dapat disanggah kembali, jika ada penemuan
baru. Misalnya, mungkinkah penemuan baru itu dilakukan oleh ulama islam?
Persamaan dan perbedaan manusia dengan makhluk lain Dibanding makhluk lainnya
manusai mempunyai kelebihan-kelebihan. Kelebihan-kelebihan itu membedakan
manusia dengan makhluk lainnya. Kelebihan manusia adalah kemampuan untuk
bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, baik didarat, dilaut, maupun diudara.
Sedangkan binatang bergerak diruang yang terbatas. Walaupun ada binatang yang
bergerak didarat dan dilaut, namun tetap saja mempunyai keterbatasan dan tidak
bisa melampaui manusia. Mengenai kelebihan manusia atas makhluk lain dijelaskan
surat al-Isra’ ayat 70.
Disamping
itu, manusia diberi akal dan hati, sehingga dapat memahami ilmu yang diturunkan
Allah, berupa al-Quran menurut sunah rasul. Dengan ilmu manusia mampu
berbudaya. Allah menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya (at-Tiin :
95:4). Namun demikian, manusia akan tetap bermartabat mulia kalau mereka
sebagai khalifah ( makhluk alternatif ) tetap hidup dengan ajaran Allah ( QS.
Al-An’am : 165 ). Karena ilmunya itulah manusia dilebihkan ( bisa dibedakan )
dengan makhluk lainnya.
Jika manusia
hidup dengn ilmu selain ilmu Allah, manusia tidak bermartabat lagi. Dalam
keadaan demikian manusia disamakan dengan binatang, “mereka itu seperti
binatang ( ulaaika kal an’aam ), bahkan lebih buruk dari binatang ( bal hum
adhal ). Dalam keadaan demikian manusia bermartabat rendah ( at-Tiin : 4 ).
Pembahasan.
Islam
merupakan salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai kemanusia atau
hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak
ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat
semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat
diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu
sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri menggunakan dorongan
diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan
dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga
sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan
seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.
ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat
semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat
diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu
sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri menggunakan dorongan
diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan
dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga
sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan
seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.
Fitrah
kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang tidak dapat ditawar,
dia hadir sering tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu manusia lahir dalam
bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya
sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu
dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah
barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama,
begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai
sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan
yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena
keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang
normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas. .
bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya
sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu
dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah
barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama,
begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai
sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan
yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena
keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang
normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas. .
Konsep manusia
Ada 3 teori dalam konsepsi manusia yaitu :
- Pertama yaitu Teori Evolusi.
Teori
ini pertama kali dikemukakan oleh seorang sarjana Perancis J.B de Lamarck
yang menyatakan bahwa kehidupan berkembang dari tumbuh – tumbuhan menuju
binatang dan dari binatang menuju manusia. Teori ini merupakan perubahan atau
perkembangan secara berlahan – lahan dari tidak sempurna menjadi perubahan yang
sempurna.
- Kedua yaitu Teori Revolusi
Teori
revolusi ini merupakan perubahan yang amat cepat bahkan mungkin dari tidak ada
menjadi ada. Teori ini sebenarnya merupakan kata lain untuk menanamkan
pandangan pencipta dengan kuasa Tuhan atas makhluk-Nya. Pandangan ini gabungan
pemikiran dari umat manusia yang berbeda keyakinan yaitu umat Kristen dan umat
Islam tentang proses kejadian manusia yang dihubungkan dengan keMaha Kuasaan
Tuhan.
Dalam
Ajaran Kristen dijumpai kisah kejadian manusia dalam surat Kejadian 1-11 dan
12-50 tentang kisah oleh Martinus dalam “ Bagaimana Agama Kristen Memandang
teori Darwin “. Dalam ajaran Islam terbentuk opini dan tidak berlebihan jika
dikatakan sebagai
keyakinan, bahwa manusia dan juga alam semesta tercipta secara cepat oleh Kuasa
Allah.Keyakinan tersebut merupakan hasil interpretasi dari ayat – ayat Al-Quran
dalam surat Al-Baqarah ayat 30 yang menjelaskan tetntang kejadian Adam yaitu “ Adam adalah suatu makhluk yang diciptakan dari tanah yang diambil dari berbagai jenis yang kemudian dicampur dengan air, dibentuk dan ditiupkan ruh kedalamnya, dan kemudian menjadi makhluk hidup”,serta Yasin ayat 82 yang berbunyi kun fayakun dengan arti “ jadilah maka terjadilah dia ”.
keyakinan, bahwa manusia dan juga alam semesta tercipta secara cepat oleh Kuasa
Allah.Keyakinan tersebut merupakan hasil interpretasi dari ayat – ayat Al-Quran
dalam surat Al-Baqarah ayat 30 yang menjelaskan tetntang kejadian Adam yaitu “ Adam adalah suatu makhluk yang diciptakan dari tanah yang diambil dari berbagai jenis yang kemudian dicampur dengan air, dibentuk dan ditiupkan ruh kedalamnya, dan kemudian menjadi makhluk hidup”,serta Yasin ayat 82 yang berbunyi kun fayakun dengan arti “ jadilah maka terjadilah dia ”.
- Ketiga yaitu Teori Evolusi Terbatas.
Teori
ini adalah gabungan pemikiran dari pihak-pihak agama yang berlandaskan dengan
alasan-alasan serta pembuktian dari pihak sarjana penganut teori evolusi.
Seperti yang dikemukakan oleh FransDahler, yang mengakui bahwa tumbuh-tumbahan, binatang, dan manusia selama ribuan atau jutaan tahun yang benar-benar mengalami mutasi (perubahan) yang tidak sedikit.
Seperti yang dikemukakan oleh FransDahler, yang mengakui bahwa tumbuh-tumbahan, binatang, dan manusia selama ribuan atau jutaan tahun yang benar-benar mengalami mutasi (perubahan) yang tidak sedikit.
Menurut
RHA. Syahirul Alim cendekiawan Muslim ahli kimia menyatakan bahwa
kita sebagai manusia harus merasa terhormat kalau diciptakan dari keturunan kera
karena secara kimia molekul-molekul kera jauh lebih kompleks dibandingkan
dengan tanah, karena tanah molekulnya lebih rendah keteraturannya. Menurut Al-Syaibani
manusia dikelompokkan menjadi delapan definisi,antara lain :
- Manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia dimuka bumi
- Manusia sebagai khalifah dimuka bumi.
- Insan manusia sebagai makhluk sosial yang berbahasa.
- Insan yang mempunyai tiga dimensi yaitu badan, akal, dan ruh
- Insan dengan seluruh perwatakannya dan ciri pertumbuhannya adalah hasil pencapaian dua factor, yaitu faktor warisan dan lingkungan.
- Manusia mempunyai motivasi, kecenderungan, dan kebutuhan permulaan baik yang diwarisi maupun yang diperoleh dalam proses sosialisasi.
- Manusia mempunyai perbedaan sifat antara yang satu dengan yang lainnya.
Manusia Dalam pandangan islam
Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai
makhluk, mukalaf, mukaram,
mukhaiyar, dan mujizat. Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab: 72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur dan taqwa (asy-Syams: 8).
mukhaiyar, dan mujizat. Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab: 72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur dan taqwa (asy-Syams: 8).
Selain
itu, manusia juga diciptakan untuk mengaplikasikan beban-beban ilahiah yang
mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah yang harus
diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam mayapada
memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya tidaklah
untuk huru-hara dan tanpa hadaf ‘tujuan’ yang berarti. Perhatikanlah
ayat-ayat Qur`aniah di bawah ini.
mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah yang harus
diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam mayapada
memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya tidaklah
untuk huru-hara dan tanpa hadaf ‘tujuan’ yang berarti. Perhatikanlah
ayat-ayat Qur`aniah di bawah ini.
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)
“Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Manusia
adalah makhluk pilihan dan makkhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT dari
makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya,
seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan
kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan ahsanu
taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan
memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. Dengan
akal yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu memilah dan memilih
nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam risalah
para rasul. Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai
dengan iradah Robbnya dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk
melahirkan karya-karya besar dan tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia
tetap mempertahankan gelar kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya
seperti ahsanu taqwim, ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya.
makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya,
seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan
kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan ahsanu
taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan
memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. Dengan
akal yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu memilah dan memilih
nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam risalah
para rasul. Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai
dengan iradah Robbnya dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk
melahirkan karya-karya besar dan tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia
tetap mempertahankan gelar kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya
seperti ahsanu taqwim, ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya.
Maka,
dengan sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat insaniah yang berkaitan
dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi khusus
kepada manusia untuk menguji dan mengetahui siapa yang jujur dalam
beriman dan dusta dalam beragama.
dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi khusus
kepada manusia untuk menguji dan mengetahui siapa yang jujur dalam
beriman dan dusta dalam beragama.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan: “Kami
telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3).
telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3).
Oleh
karena itu, ia harus benar-benar mampu menjabarkan kehendak-kehendak ilahiah
dalam setiap misi dan risalah yang diembannya.
dalam setiap misi dan risalah yang diembannya.
1.Misi Manusia
Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus:
misi utama; misi fungsional; dan
misi operasional.
misi operasional.
A. Misi Utama
Keberadaan
manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah
SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang
telah
ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan
ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan
alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan
Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah
menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap sinyal-sinyal yang
ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh
Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada dalam ibadah
shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan
kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari,
menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45).
Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim
menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan
ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan
alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan
Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah
menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap sinyal-sinyal yang
ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh
Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada dalam ibadah
shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan
kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari,
menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45).
Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim
menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Namun,
tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang
di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari
ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).
ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).
Hal
ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat
dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan
kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang
tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan,
dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka)
yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.
Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini
dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.
dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan
kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang
tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan,
dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka)
yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.
Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini
dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.
“Kemudian
Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri
dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32)
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri
dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32)
• Sabiqun bil khairat
Hamba Allah SWT yang termasuk dalam kategori ini
adalah hamba yang tidak hanya puas
melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia
terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah
digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Akal sehatnya menerawang
jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif.
Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya
bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan,
dan kepasrahan kepada Allah SWT.
melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia
terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah
digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Akal sehatnya menerawang
jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif.
Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya
bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan,
dan kepasrahan kepada Allah SWT.
• Muqtashidun
Hamba Allah yang masuk dalam kategori ini adalah
manusia muslim yang puas ketika
mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya,
tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah
ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi
benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang
dimakruhkan.
mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya,
tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah
ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi
benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang
dimakruhkan.
• Dzalimun linafsihi
Hamba yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang
masih mencampuradukkan antara hak dan batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah
Allah SWT, ia juga masih
sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada
dua kekuatan yang mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih
dominan, dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang
mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.
“Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat
mujarab dab terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali
al-Mawardy)
sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada
dua kekuatan yang mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih
dominan, dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang
mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.
“Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat
mujarab dab terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali
al-Mawardy)
Apabila manusia mengikuti libido, mengekor nafsu
angkara murka, dan menjadi budak
syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah
SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan
melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai
kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah
‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah
‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin ‘tempat yang paling rendah’,
al-an’aam ‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri. Inilah
manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah
berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat
Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah
komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari
nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60,
al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)
syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah
SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan
melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai
kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah
‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah
‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin ‘tempat yang paling rendah’,
al-an’aam ‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri. Inilah
manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah
berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat
Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah
komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari
nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60,
al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)
Ali bin Abu Thalib ra. berkata, “Ada dua masalah yang
saya takutkn menimpa kamu. Pertama, mengikuti hawa nafsu. Kedua, banyak
menghayal. Karena, yang pertama akan
menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua
mengakibatkan lupa akan akhirat.” Sebagian ahli hikmah berkata, “Akal merupakan teman setia, dan hawa nafsu adalah musuh yang ditaati.”Sebagian ahli hikmah yang lain berkata,“Hawa nafsu adalah raja yang bengis dan penguasa yang lalim.” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya)
menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua
mengakibatkan lupa akan akhirat.” Sebagian ahli hikmah berkata, “Akal merupakan teman setia, dan hawa nafsu adalah musuh yang ditaati.”Sebagian ahli hikmah yang lain berkata,“Hawa nafsu adalah raja yang bengis dan penguasa yang lalim.” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya)
B. Misi Fungsional
Selain misi utama yang harus diemban manusia, ia juga
mempunyai misi fungsional
sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di
atas rel-rel robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus
kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah
‘kekuasan’, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah ‘binatang
ternak’.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah)
sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di
atas rel-rel robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus
kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah
‘kekuasan’, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah ‘binatang
ternak’.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah)
Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah,
maka ia akan mempertahankan
kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh
Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk
menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27 dan Shaad: 26).
kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh
Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk
menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27 dan Shaad: 26).
Adapun ketika jiwa manusia terbelenggu oleh syahwat
syaithaniah dan bahaimiah,
maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan
menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan
sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat
dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat.
maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan
menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan
sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat
dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat.
C.Misi Operasional
Manusia diciptakan di bumi ini—selain untuk beribadah
dan sebagai khalifah, juga
harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di
dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu
apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah
mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk
manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi
(ar-Ruum: 41). Oleh karena itu, bumi ini membutuhkan pengelola dari
manusia-manusia yang ideal. Manusia yang memiliki sifat-sifat luhur sebagaimana
disebutkan di bawah ini. Syukur (Luqman: 31) Sabar (Ibrahim: 5) Mempunyai belas kasih (at-Taubah: 128)Santun (at-Taubah: 114)Taubat (Huud: 75) Jujur (Maryam: 54)
Terpercaya (al-A’raaf: 18)
harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di
dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu
apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah
mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk
manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi
(ar-Ruum: 41). Oleh karena itu, bumi ini membutuhkan pengelola dari
manusia-manusia yang ideal. Manusia yang memiliki sifat-sifat luhur sebagaimana
disebutkan di bawah ini. Syukur (Luqman: 31) Sabar (Ibrahim: 5) Mempunyai belas kasih (at-Taubah: 128)Santun (at-Taubah: 114)Taubat (Huud: 75) Jujur (Maryam: 54)
Terpercaya (al-A’raaf: 18)
Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu
mengendalikan nafsu dan
menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya,
diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya.
Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan
panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup
mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan
seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah
sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini
menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya,
diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya.
Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan
panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup
mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan
seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah
sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini
Ada 3 teori dalam konsepsi manusia yaitu :
- Pertama yaitu Teori Evolusi.
- Kedua yaitu Teori Revolusi
- Ketiga yaitu Teori Evolusi Terbatas.
Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai
makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujizat. Manusia adalah makhluk yang
memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’:
28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab: 72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’
(Faathir: 15), kafuuro ‘sangat mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur
(al-Insaan:3), serta fujur dan taqwa (asy-Syams: 8).
Keberadaan
manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah
SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang
telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan
kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya
harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya
dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan
apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap
sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang
telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang
ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam
mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk
menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45). Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya
harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya
dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan
apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap
sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang
telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang
ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam
mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk
menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45). Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata
al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi
filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh
Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini
dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf
filosofis.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada
diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad
(al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam
pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur
(cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh
kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah
SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang
berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna
dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir)
mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua
pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengeneai
manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkail dengan
pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut
dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia.
Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak
tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan
jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam
hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan
sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna
oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam
esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu
Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi
Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang
sempurna melalui latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya
Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini
diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan
mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang
luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta
sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi
“manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya
menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad).
Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili
ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal
memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi
tanpa penafsiran secara mistik.
Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin,
yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan.
Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi
SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan makhluk moralis,
yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan dalam
dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi. Sang
mukmin menjadi tuan terhjadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap
mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa
proses. Pertama, ketaatan pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk
tertinggi kesadaran diri tentang pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi. dari
ensklopedi Islam terbitan ikhtiar baru van hoeve
A. Manusia Sebagai Mahluk Sempurna
Pada hakekatnya manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai
mahluk yang sempurna di antara mahluk-mahluk Allah lainnya. Manusia diberi
begitu banyak keistimewaan di antaranya bentuk fisik yang indah, kedudukan yang
jauh lebih baik, dan yang paling berbeda yaitu akal pikiran. Akal dapat
digunakan untuk berpikir dan membedakan mana yang baik dan yang buruk. Manusia
sebagai insan kamil haruslah mempunyai kepribadian dan ahlak yang baik.
Pemuliaan Allah SWT kepada manusia berkaitan dengan penciptaannya seperti
diterangkan Allah dalam firmanNya:
Artinya: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia
dengan sebaik-baiknya
Fitrah manusia meliputi: hanif, potensi akal, qaib, nafsu. Fitrah adalh kondisi awal suatu ciptaan atau kondisi manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui dan cenderung kepada kebenaran. Fitrah tidak hanya diartikan sebagai penciptaan fisik, melainkan juga dalam arti rihaniah yaitu sifat-sifat dasar manusiayang baik. Hanif (kecenderungan kepada kebaikan) yang terjadinya proses persaksian sebelum digelar ke muka bumi. Manusia memiliki potensi baik sejak kelahirannya. Potensi itu meliputi: potensi jasmani (fisik), ruhani (spiritual), dan akal (mind). Ketiga potensi ini akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri. Manusia diberi kebebasan untuk menentukan takdirnya. Semua itu tergantungdari bagaimana mereka memanfaatkan potensi yang melekat dalam dirinya. Potensi rohaniah berupa akal, qald dan nafsu. Akal adalah pikiran atau rasio dan rasa bias diartikan dengan bijaksana. Qald adalah hakikat manusiayang dapat menangkap segala pengertian berpengetahuan dan arif. Nafsu adalah sesuatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya.
Tujuan hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah SWT dengan cara melakukan perbuatan apapun asal yang tidak dilarang agama dan diniati ibadah sehingga apapun yang kita kerjakan tidak hanya bermanfaat untuk kehidupan di dunia tetapi juga kepentingan di akherat jadi tujuan hidup manusia sudah jelas adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat, sebagaimana sering kita ucapkan dalam doa : "Rabbana aatina fiddun-yaa hasanah wafil akhirati hasanah, waqinaa adzabannar". Untuk mendapatkan kebahagiaan dunia telah diuraikan di depan, adalah berusaha untuk menjadi Ahsani Taqwim dan Khalifah fil Ardhi, namun untuk kebahagiaan akherat perlu kita teliti lebih jauh. Seperti dalam surat Adz Dzariyat ayat 56:
Fitrah manusia meliputi: hanif, potensi akal, qaib, nafsu. Fitrah adalh kondisi awal suatu ciptaan atau kondisi manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui dan cenderung kepada kebenaran. Fitrah tidak hanya diartikan sebagai penciptaan fisik, melainkan juga dalam arti rihaniah yaitu sifat-sifat dasar manusiayang baik. Hanif (kecenderungan kepada kebaikan) yang terjadinya proses persaksian sebelum digelar ke muka bumi. Manusia memiliki potensi baik sejak kelahirannya. Potensi itu meliputi: potensi jasmani (fisik), ruhani (spiritual), dan akal (mind). Ketiga potensi ini akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri. Manusia diberi kebebasan untuk menentukan takdirnya. Semua itu tergantungdari bagaimana mereka memanfaatkan potensi yang melekat dalam dirinya. Potensi rohaniah berupa akal, qald dan nafsu. Akal adalah pikiran atau rasio dan rasa bias diartikan dengan bijaksana. Qald adalah hakikat manusiayang dapat menangkap segala pengertian berpengetahuan dan arif. Nafsu adalah sesuatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya.
Tujuan hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah SWT dengan cara melakukan perbuatan apapun asal yang tidak dilarang agama dan diniati ibadah sehingga apapun yang kita kerjakan tidak hanya bermanfaat untuk kehidupan di dunia tetapi juga kepentingan di akherat jadi tujuan hidup manusia sudah jelas adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat, sebagaimana sering kita ucapkan dalam doa : "Rabbana aatina fiddun-yaa hasanah wafil akhirati hasanah, waqinaa adzabannar". Untuk mendapatkan kebahagiaan dunia telah diuraikan di depan, adalah berusaha untuk menjadi Ahsani Taqwim dan Khalifah fil Ardhi, namun untuk kebahagiaan akherat perlu kita teliti lebih jauh. Seperti dalam surat Adz Dzariyat ayat 56:
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. (QS. 51:56)
Dalam islam tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup (penciptaan)
manusia. Menempatkan ibadah sebagai tujuan hidup mengandung arti bahwa kita
menyerahkan penilaian semua gerak dan kiprah ibadah kita hanya kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar asalkan dengan bahasa yang sopan..ok??