BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sekarang ini
tampaknya ada isu yang mendua terhadap sosok dan cara kerja aparatur pemerintah
dikebanyakan negara sedang berkembang. Pandangan pertama menganggap bahwa
birokrasi pemerintah ibarat sebuah perahu besar yang dapat menyelamatkan
seluruh warga masyarakat dari bencana banjir, ekonomi maupun politik. Bagaikan
dilengkapi oleh militer dan partai politik yang kuat, organisasi pemerintah
merupakan dewa penyelamat dan merupakan organ yang dikagumi masyarakat. Pandangan
ini didasarkan atas asumsi bahwa di dalam mengolah sumber daya yang dimiliki,
organisasi ini mengerahkan para intelektual dari beragam latar belakang
pendidikan sehingga keberhasilannya lebih dapat terjamin. Jadi mereka berkesimpulan
bahwa birokrasi pemerintah memegang peran utama, bahkan peran tunggal dalam
pembangunan suatu negara.
Pada sisi lain,
pandangan kedua menganggap birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang
kurang menyenangkan. Bahkan hampir selalu birokrasi pemerintah bertindak canggung,
kurang terorganisir dan buruk koordinasinya, menyeleweng, otokratik, bahkan
sering bertindak korupsi. Para aparatnya kurang dapat menyesuaikan diri dengan
modernisasi orientasi pembangunan serta perilakunya kurang inovatif dan tidak
dinamis. Dalam keadaan semacam ini, pemerintah biasanya mendominasi seluruh
organ politik dan menjauhkan diri dari masyarakat.
Berdasarkan
dari kedua pandangan tersebut di atas, bahwa pada pandangan pertama mungkin di
ilhami dengan pengharapan yang muluk-muluk dan berlebihan, yang dewasa ini
mungkin sudah sangat jarang ditemukan, sedangkan pada pandangan kedua merupakan
suatu pandangan yang berlebihan yang didasarkan pada prasangka buruk. Bisa juga
terjadi kedua pandangan tersebut bertentangan satu sama lain yang didasarkan
pada pengamatan yang mendalam dan evaluasi terhadap kondisi nyata aparatur
pemerintah. Sudah barang tentu kritik dan ketidakpuasan yang berlebihan
terhadap peran birokrasi dalam pembangunan sangatlah tidak adil.
Selalu saja
jika terjadi kegagalan dalam usaha pembangunan birokrasi dipandang sebagai
biang keladinya. Kegagalan pembangunan memang sebagian besar merupakan tanggung
jawab birokrasi namun bukanlah semuanya. Bahkan di beberapa negara, kekurangan efisiensi
administrasi negara tidak dianggap sebagai "dosa besar" terhadap ketidakmampuan
pemerintah di dalam memenuhi harapan pembangunan ataupun realisasi tujuan
sebagaimana telah ditetapkan di dalam rencana pembangunan. Hal yang harus
diperhatikan adalah bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan administrasi
negara itu dapat dikurangi, kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali. Ketidaksempurnaan
adaministrasi ini tidak akan dipandang sebagi situasi yang suram, jika
seandainya kondisi kesemerawutan administrasi negara ini tidak merebak ke
seluruh pelosok negeri, baik pada tingkat regional maupun tingkat nasional.
Kondisinya
dipersuram lagi dengan adanya keinginan dari birokrasi pemerintah untuk
mempertahankan status quo dan menerapkan pola otokratik dan otoriter.
Peran pemerintah yang amat dominan dalam pembangunan sosial dan ekonomi membuat
semuanya menjadi lebih parah.
1.2
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Agar masyarakat daerah
pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya dapat mengetahui apa yang
dimaksud dengan otonomi daerah.
2. Mengetahui dampak negatif dan dampak
positif dari otonomi daerah.
3. Implementasi otonomi daerah terhadap
pemerintahan daerah.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Pengertian Otonomi Daerah
Menurut UU No.
22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa otonomi daerah adalah
kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. (Alexander Abe, PERENCANAAN DAERAH PARTISIPATIF,
2002: 2)
Otonomi Daerah,
sebagaimana dikandung dalarn UU No. 22/1999, adalah usaha memberi kesempatan
kepada daerah untuk memberdayakan potensi ekonomi, sosial-budaya dan politik di
wilayahnya. (Andrik Purwasito, IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DI ARUS
LOKAL, 2001:2)
2.2
Pengertian Desentralisasi
Dalam UU No. 22
Tahun 1999 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenag pemerintah
oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik. (Alexander
Abe, PERENCANAAN DAERAH PARTISIPATIF, 2002: 2)
2.3
Tujuan Utama Otonomi Daerah
Otonomi daerah
menurut UU No. 22/1999 dari sudut pandang disentralisasi fiscal. Tujuan utama
otonomi daerah adalah untuk mendorong terselenggaranya pelayanan publik sesuai
tuntutan masyarakat daerah, mendorong efisiensi alokatif penggunana dana
pemerintah melalui desentralisasi kewenangan dan pemberdayaan daerah. (Kamal
Alamsyah, Desentralisasi dalam Perspektif Otonomi Daerah, 2002: 8)
BAB III
ANALISIS
3.1 Quo Vadis Otonomi Daerah
Hakikat dan
spirit otonomi daerah sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 dan No.25 Tahun 1999
adalah distribusi dan pembangunan kewenangan berdasarkan asas desentralisasi,
dekosentralisasi, dan perbantuan pada strata pemerintahan guna mendorong
prakarsa lokal dalam membangun kemandirian daerah dalam wadah NKRI. Regulasi UU
No.22 dan 25 Tahun 1999 merupakan manisfestasi dari aktualisasi spirit otonomi
daerah yang bermuatan political sharing, financial sharing, dan empowering dalam
mengembangkan kapasitas daerah (capacity building), peningkatan SDM dan
partisipasi masyarakat.
Implementasi
kebijakan otonomi secara efektif dilaksanakan di Indonesia sejak 1 Januari
2001, memberikan proses pembelajaran berharga, terutama esensinya dalam
kehidupan membangun demokrasi, kebersamaan, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman
daerah dalam kesatuan melalui dorongan pemerintah untuk tumbuh dan
berkembangnya prakarsa awal (daerah dan masyarakatnya) menuju kesejahteraan
masyarakat. Prinsip dasar otonomi daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah secara konsepsional adalah: pendelegasian kewenangan (delegation
of autority), pembagian pendapatan (income sharing), kekuasaan (dicreation),
keanekaragaman dalam kesatuan (uniformity in unitry), kemandirian
lokal, pengembangan kapasitas daerah (capacity building).
Implementasi
otonomi daerah memberi dampak positif dan negatif dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di daerah. Dampak positif yang menonjol adalah
tumbuh dan berkembangnya prakarsa daerah menuju kemandirian daerah dalam
membangun. Dampak negatifnya yang paling mengemuka timbulnya friksi
pusat-daerah dan antar daerah, terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam, kewenangan
dan kelembagaan daerah. Salah satu penyebabnya bersumber dari harmonisasi
kebijaksanaaan dengan kebijaksanaan otonomi daerah, misalnya peraturan
pertanahan, tata ruang, penanaman modal, perdagangan, perikanan dan kelautan,
jalan, UMKMK, Perda yang counter productive, dan sebagainya.
Akibatnya
ketergantungan daerah terhadap Pemerintah Pusat sangat tinggi yang
mengakibatkan kreativitas masyarakat lokal berserta seluruh perangkat daerah dan
kota menjadi tak terbedayakan sedangkan kebijakan yang represif telah membunuh
secara dini aspirasi daerah untuk menuntut keadilan atas kekayaan alam yang
dimililiknya. Pemerintah Pusat yang telah mengalami kesulitan sumber dana agaknya
juga sangat kewalahan menghadapi persoalan dan gejolak yang terjadi di aras
lokal. Berarti selama lebih dari 52 tahun Merdeka, Indonesia gagal melakukan konsolidasi
dan persatuan daerah yang adil dan merata. Mungkin saja, karena mempertahankan
kekuasaan sebuah rezim lebih diutamakan bahkan cenderung berlebihan sehingga
urusan daerah bukan demi kemandirian tetapi justru dalam format mempertahankan
kekuasaan.
3.2. Pergeseran
Paradigma dalam Menyikapi Desentralisasi
Globalisasi
mengakibatkan kompetisi semakin terbuka dan tingkat tuntutan masyarakat terhadap
pelayanan publik yang memadai. Berbagai macam peresoalan yang dihadapi masyarakat
akhir-akhir ini selalu dikaitkan dengan otonomi daerah. Persoalan yang sangat
mendasar adalah implementasi yang tidak teratur karena memang dibiarkan seperti
itu.
Ketidakteraturan
tersebut salah satunya dikarenakan lemahnya kepemimpinan. Dalam menghadapi
perubahan tersebut, agar dapat adaptif dengan perkembangan zaman diperlukan:
1. Sumber daya Aparatur Pemerintah Daerah yang mempunyai
orientasi baru sesuai dengan tuntutan global.
2. Kepemimpinan yang memberikan keteladanan.
3. Peningkatan kemampuan birokrasi pemerintah daerah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalm menciptakan
lapangan kerja dan menyediakan pendidikan yang murah dan berkualitas.
Kebijakan
otonomi daerah diharapkan mampu memelihara integrasi nasional dan keutuhan
bangsa Indonesia. Dengan otonomi daerah dapat mewujudkan hubungan kekuasaan
menjadi lebih adil, proses demokrasi di daerah berjalan baik dan adanya
peningkatan kesejahteraan di daerah. Daerah memiliki kepercayaan lepada pemerintah
pusat yang akhirnya dapat memperlancar pembangunan bangsa melalui keutuhan
nasional.
Implementasi
kebijakan otonomi daerah berimplikasi pada pembangunan daerah. Pembangunan
daerah diharapkan "terwujudnya kemandirian daerah dalam pengelolaan
pembangunan secara serasi, profesional, dan berkelanjutan". Dalam konteks
tersebut pembangunan daerah yang dilakukan pemerintah pada daerah dalam rangka
reposisi paradigma baru pembangunan daerah yang berbasis kewilayahan, kemitraan
pembangunan, lingkungan hidup, serta penerapan good governmence dengan strategi
sebagai berikut :
1. Mendorong dan memfasilitasi koordinasi perencanaan
pembangunan daerah.
2. Mengembangkan kapasitas kelembagaan pembangunan
daerah.
3. Mendorong terciptanya keselarasan dan keserasian
pembangunan daerah.
4. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan/pendayagunaan
potensi daerah.
5. Mengembangkan fasilitasi penataan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
6. Mengembangkan iklim yang kondusif bagi penembangan
investasi dan usahadaerah.
7. Mengembangkan SDM aparatur pengelola pembangunan
daerah yang profesional dalam pelayanan pembangunan di daerah.
Pembangunan
daerah merupakan salah satu tujuan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah yang berbasis kewilayahan dan lingkungan serta berkelanjutan. Tjahya
Supriatna (2002) bahwa pembangunan ekonomi daerah didasarkan pada pengembangan
potensi daerah (manusia, alam, dan lingkungan hidup) dalam koridor ekonomi
kerakyatan dengan prinsip (productivity, effciency, redistribution income,
realocate economic, economic advantage and errvironmental sustainable). Arah
kebijakan pembangunan ekonomi daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah melalui :
1. Kebijakan daerah untuk menumbuhkan pelaku ekonomi
(sektor pemerintah, swasta dan masyarakat), arus perdagangan dan investasi
daerah.
2. Menciptakan dan memperluas kerjasama antardaerah,
daerah dengan pusat, dan daerah dengan LN di bidang ekonomi, yang didukung
dengan perangkat hukum.
3. Menggali dan memanfaatkan potensi dan keunggulan
ekonomi daerah.
4. Meningkatkan kegiatan ekonomi dan industrialiasi
perdesaaan dengan agrobisnis berbasis agraris dan maritim.
5. Pengembangan kawasan ekonomi dan daerah perbatasan
berdasarkan pengelolaaan potensi sumber daya ekonomi dan lingkungan hidupnya.
Karakteristik umum organisasi
pemerintah daerah (berdasarkan UU No.22 Tahun 1999) adalah sebagai berikut:
1.
Diberi
peluang untuk menyusun organisasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah
masing-masing (Self Renewing System).
2. Ada kaitan langsung antara visi dan misi dengan bentuk
dan susunan organisasi
3. Diarahkan untuk memiliki susunan kinerja yang jelas
dan terukur.
4. Fungsi utamanya adalah memberi pelayanan kepada
masyarakat sehingga unsur pelaksana (teknis maupun kewilayahan) perlu
memperoleh perhatian yang lebih besar, baik dari segi kewenangan, dana,
personal maupun logistik
5. Orientasi mulai bergeser dari struktural ke arah
fungsional (dari basis kewenangan kepada basis kompetensi).
6. Sistem hierarki menjadi lebih longgar, rentang kendali
menjadi tidak beraturan, sehingga pengembangan karir PNS secara struktural
menjadi tidak pasti.
Karakteristik
umum organisasi pemerintah daerah (berdasarkan UU No.5 Tahun 1974) adalah
sebagai berikut:
1. Fungsi utamanya lebih sebagai promotor pembangunan
dibandingkan sebagai pelayan masyarakat.
2. Terpengaruh oleh organisasi dan manajemen militer yang
tidak berorientasi pada pelayanan .
3. Unsur staff memegang peranan penting sebagai "think
tank" sedangkan unsur pelaksana kurang memperoleh perhatian
secukupnya.
4. Belum ada pengukuran serba seragam, kaku dan tidak
akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat.
5. Lebih berorientasi pada keberhasilan kepemimpinan
kepala daerah, belum kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat.
6. Kinerja yang bersifat obyektif dan berparameter jelas
(pengukuran kinerja lebih didasarkan pada pertimbangan subyektif dari
pimpinan).
7. Lebih bercorak organisasi struktural yang berorientasi
pada kekuasaan, dibandingkan organisasi fungsional yang berorientasi
kompetensi.
8. Hierarki dan rentang kendali dijaga secara ketat.
Berdasarkan
pelaksanaan UU No. 5 tahun 1974 yang sesungguhnya punya semangat yang sama
dengan UU No. 22/1999, yakni memberi "otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab." Hanya saja dalam prakteknya pemerintah Pusat tidak mampu menjalankan
amanat undang-undang itu karena unsur-unsur kepentingan di Daerah khususnya
menyangkut jaminan dan kemampuan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri,
tidak diberikan secara adil dan merata, baik kemampuan sumber daya manusia
maupun sumber pembiayaan. Dalam hal ini Pemerintah Pusat cenderung setengah
hati dalam memberikan kewenangan kepada Daerah secara penuh, karena Daerah harus
secara nyata menjalankan kewajiban dengan segala resikonya daripada memberi
hak-hak yang penuh kepada Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan yang nyata
dan bertanggung jawab.
3.3 Kesiapan Aparatur Pemerintah Daerah dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dengan adanya
globalisasi, teknologi, dan perubahan sosial mengakibatkan dampak yang besar
terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Karena perubahan-perubahan
inilah maka kebijakan pemerintah daerah haruslah mempunyai Standar
Pertanggungjawaban (Accountability) yang tinggi dan dapat diandalkan.
Implikasinya
jelas, Pemerintah Daerah harus memberikan pelayanan yang lebih efektif dan Cost
effisien dalam keterbatasan anggaran yang ada. Semua ini sangat tergantung
kepada kemampuan aparat pemerintah daerah dalam berpikir, bersikap, bertindak
kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan peluang-peluang serta mengatasi tantangan
dalam perubahan yang begitu cepat. Dalam menghadapi tantangan tersebut itulah
diperlukan sisi yang tepat tentang pemahaman dan pengelolaan manajemen pemerintahan.
Namun demikian
harus disadari bahwa upaya melakukan perbaikan dalam penyelenggaraan manajemen
pemerintahan tidak semudah yang diperkirakan, karena akan menghadapi berbagai
tantangan dan resistensi berbagai pihak baik dari dalam maupun dari luar yang
merasa akan dirugikan atas adanya perubahan tersebut. Bagi para pelaku baik di
sektor publik maupun di sektor swasta perubahan dimaksud pada intinya mencakup
aspek-aspek :strategi (Strategic), sistem (System), kemampuan (Ability),
personil (staff), gaya kepemimpinan (style), rekatan nilai
budaya (Shared Value).
Perubahan dalam
penyelenggaran Birokrasi pemerintah Daerah harus mengacu:
1. Birokrasi Pemerintah Daerah harus mampu mengarahkan
dalam mengupayakan terwujudnya potensi dan inisiatif masyarakat dalam mengatasi
permasalahan atau tuntutan kebutuhannya.
2. Birokrasi Pemerintah Daerah harus mampu bersaing dalam
memberikan pelayanan (Delivery of Services) dengan menumbuhkan
efisiensi, inovasi dan motivasi serta prestasi.
3. Birokrasi Pemerintah Daerah harus mengupayakan
bagaimana menjelaskan kehendak atau keinginan pemerintahan kepada masyarakat
daripada mengatur masyarakat untuk tidak
berbuat hal-hal yang tidak diinginkan oleh pemerintah.
4. Penyelenggaraan pemerintahan yang berorientasi kepada
dampak hasil (outcome) bukan atas bahan masukan (input) yang
diperlukan.
5. Penyelenggara pemerintahan yang berorientasi pada
upaya memenuhi kcbutuhan masyarakat bukan kepada kepentingan dan data prosedur
birokrasi pemerintahan.
6. Penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki wawasan
dan pandangan kewirausahaan.
7. Penyelenggaraan pemerintahan lebih memanfaatkan dan
berorientasi kepada kekuatan mekanisme pasar dalam upaya mengarahkan
(fasilitatif) prakarsa dan gerak perubahan masyarakat.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tujuan utama
Otonomi Daerah adalah tercapainya penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good
governance) dengan landasan demokrasi yang menitikberatkan pada peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan keanekaragaman asset
sosial, ekonomi, budaya di aras lokal.
Demokrasi
partisipatoris menjadi impian Otonomi Daerah karena lebih banyak bertumpu pada
kekuatan rakyat, namun di sisi lain masyarakat. Namun, Otonomi Daerah
menyisakan banyak masalah karena belum tuntasnya peraturan pemerintah tentang petunjuk
pelaksanaan dan implementasi yang cepat dan tepat. Penyelenggaraan kebijakan
Otonomi Daerah oleh Pemerintah Pusat cenderung tidak dianggap sebagai amanat
konstitusi sehingga proses desentralisasi menjadi tersumbat. Otonomi Daerah
memberikan keleluasaan dan kewenangan yang bersar kepada daerah untuk memberdayakan daerah sehingga akan menimbulkan
disintegrasi akibat terkotak-kotaknya daerah tanpa adanya kontrol dari Pusat.
Penyelenggaraan
Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan otonomi yang luas,
nyata dan bertanggung jawab yang tetap terjaminnya hubungan yang serasi antara
Pusat dan Daerah serta antar-Daerah. Dengan Otonomi Daerah harus lebih
meningkatkan kemandirian daerah Otonom dan karena itu daerah kabupaten maupun
kota tidak lagi menjadi wilayah administrasi. Otonomi Daerah diarahkan untuk
lebih meningkatkan peranan dan fungsi DPRD, baik sebagai sebagai fungsi
legislatif, fungsi kontrol maupun anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
Dengan demikian
setiap daerah kabupaten dan kota berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Selain itu juga agar tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta secara horisontal antar daerah satu dengan daerah yang lain.
Otonomi Daerah
diarahkan untuk memperbesar tingkat partisipasi rakyat dalam pengambilan
keputusan negara. Di alam modernisasi, partisipasi rakyat memang sering
menimbulkan atau memperbesar tingkat intensitas konflik-konflik komunal.
Sehingga, perubahan sosial lebih banyak merupakan reinkarnasi dari solidaritas
komunal daripada integrasi kelompok-kelompok yang saling berbeda.
4.2 Saran
Otonomi Daerah
secara teoritis dipandang sebagai upaya mengintegrasikan kepentingan ekonomi
dan politik antara Pusat dan Daerah, untuk mengintegrasikan nilai dalam
masyarakat yang sedang berkembang, baik melalui strategi yang menekankan
pentingnya konsensus dan memusatkan perhatian pada usaha menciptakan
keseragaman semaksimal mungkin maupun menekankan interaksi antara kepentingan-kepentingan
kelompok dengan kepentingan daerah.
Otonomi Daerah
selain optimis juga harus disikapi dengan hati-hati karena berbagai hambatan
baik pada tingkat penyelenggara negara maupun pada tingkat masyarakat bawah
masih perlu sarana untuk memperlancar arus informasi dan dialog sehingga
tercipta pola komunikasi politik yang mampu membangun sebuah partnership yang
mendorong daerah untuk mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar asalkan dengan bahasa yang sopan..ok??